Selasa, Agustus 19, 2008

Seren Taun 2008 : Eksotisme Negeri di Awan

Seren Taun menjadi pesta adat bagi warga Banten Kidul yang selalu ditunggu-tunggu. Acara syukuran panen ini juga dihadiri puluhan ribu orang meski untuk mencapai Kasepuhan Ciptagelar mesti menempuh medan berat.

TEKS DAN FOTO IWAN SAMARIANSYAH

Terpencil namun begitu makmur. Itulah kata yang pantas disematkan untuk kampung adat Ciptagelar Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang saya kunjungi awal Agustus lalu. Saya datang untuk menyaksikan upacara seren taun atau syukur panen yang digelar Kasepuhan Ciptagelar untuk mensyukuri hasil panen padi sekali dalam setahun.

Daerah yang biasanya sepi dan senyap itu mendadak ramai oleh berbagai jenis kendaraan roda empat dan roda dua. Semua menuju ke satu titik. Ribuan orang terus mengalir menuju perkampungan adat yang terletak di dataran lembah kaki Gunung Halimun. Tak peduli betapa beratnya medan yang mesti dilalui, penuh tanjakan, turunan dan tikungan tajam di bibir jurang hutan primer Gunung Halimun.

Saya heran juga menyaksikan tekad orang-orang yang mendatangi kediaman pemimpin Kesatuan Adat Banten Kidul, Abah Ugi Sugriana (21 tahun). Kampung adat yang senantiasa diselimuti kabut tebal itu memang terpencil. Susah payah kami menuju ke sana. Kendaraan yang saya pakai dan disupiri Nasikin, supir kantor memang bukan jenis kendaraan off-road sebagaimana yang dipergunakan para tamu lainnya.

Saya mengikuti perjalanan ke Ciptagelar itu melalui perjalanan panjang sejak dari JakartaLima jam lebih kami alami saat mobil mulai memasuki Pelabuhan Ratu dan langsung menuju Cikadu, pintu gerbang saat medan berat harus kami lalui. Hampir selama tiga jam tubuh terguncang-guncang dalam mobil yang menembus hutan di atas jalan bebatuan dengan kontur terjal. menuju Sukabumi, kemudian tiba di Pelabuhan Ratu.

Jalan yang dilalui terkadang mendaki tajam, di satu sisi tebing tinggi dan sisi lainnya adalah jurang dalam tak bertepi. Mengerikan. Kerapkali saya menahan nafas saat mesin mobil menggerung-gerung menaklukkan jalan berpasir dan bebatuan. Khawatir terjadi sesuatu. Doa terus dipanjatkan sepanjang jalan. Berat nian rasanya perjalanan guna menelusuri budaya Sunda lama ini. Luar biasa.Ketika tanjakan menjelang Kampung Gunung Boko, mobil sempat selip.

Untunglah saat itu ada Zainal Abidin, warga setempat yang membantu kami mengatasi gangguan yang sempat membuat saya dan Nasikin habis akal itu. Karena kemalaman, kamipun memutuskan menyambut tawaran Zainal untuk menginap di rumahnya yang sederhana di Gunung Boko.

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan menuju Ciptagelar. Pagi berkabut menyelimuti jalanan yang kami lalui. Namun akhirnya, meski dengan ketar-ketir sampai jugalah kami di titik tempat acara akan berlangsung, di halaman imah gede, sebuah bangunan khas nan kokoh, semi-panggung, berdinding bambu, dan beratap ijuk. Inilah dia kraton kasepuhan Ciptagelar yang konon merupakan pewaris dari Kerajaan Sunda Pakuan Padjajaran itu.

Penat perjalanan sirna tatkala sambutan semilir angin pagi menerpa lembut, mengabarkan damai dan suka cita negeri di lereng Gunung Halimun itu. Suasana perjalanan yang sebelumnya penuh tantangan melewati jalan bebatuan dengan kondisi kelokan tajam naik turun bukit, dengan ketegangan yang selalu menemani, berakhir saat kendaraan menyentuh lahan parkir, negeri di awan itu.

Ketegangan berganti damai, kengerian jurang di kiri-kanan jalan yang sebelumnya dilewati menjelma menjadi kesejukan yang dalam menyentuh hati. Suasana tenteram yang berbalut kesejukan ini ada di Kampung Ciptagelar, yang berdiri tegak di lereng Gunung Halimun pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Halimun mengandung arti kabut, karena memang setiap hari sekitar pukul tiga sore, kabut mulai menyelimuti puncaknya. Tak heran Ciptagelar yang berada di leher gunung tersebut serasa negeri yang melayang di awan. Eksotis dan mempesona.

Syukurlah, kami tiba dalam keadaan sehat mengingat medan yang kami tempuh sebelumnya benar-benar sangat menguras tenaga. Ramai suasana di sana, land rover dan kendaraan lapangan lainnya berjajar, bikers-bikers pun memarkirkan sepeda-sepeda mereka. Begitu juga sejumlah sepeda motor, kendaraan favorit di kawasan pegunungan tersebut. Ada pentas wayang golek dan musik modern memeriahkan suasana.

Upacara sekaligus pesta adat seren taun memang bukan acara sembarangan. Puncak acara sendiri jatuh pada Minggu, 3 Agustus saat Abah Ugi menggelar tradisi ngadiukeun atau mendudukkan padi di lumbung komunal Leuit Si Jimat. Saat itu sedikitnya 15.000 orang warga memadati perkampungan tersebut, ikut bersama mensyukuri hasil panen padi selama satu tahun.

Saat upacara puncak, dari halaman imah gede itulah, pemangku adat tertinggi yang masih berusia belia yang biasa disebut kolot girang Kasepuhan Banten Kidul itu berpidato. Abah Ugi meneruskan kepemimpinan di wilayah Kasepuhan Ciptagelar setelah sang ayah AE Sucipta atau yang lebih dikenal sebagai Abah Anom yang kharismatis wafat beberapa bulan lalu.

Pada saat itu, sebagaimana yang pernah dilakukan mendiang Abah Anom, kepada rakyat yang datang dari Sukabumi, Bogor, Lebak, Bandung, dan Jakarta itu Abah Ugi memberikan wejangan. Selain itu juga disampaikan laporan pembangunan mulai dari pembangunan jalan hingga pembangkit listrik. Sejumlah pejabat dari Lebak, Banten dan Sukabumi diantaranya adalah Bupati Lebak.

Meski warga adat menanam padi sekali dalam setahun, hasil panen tetap melimpah ruah dan lebih dari cukup untuk makan seluruh warga selama satu tahun lebih. Pola pertanian ini memang mengagumkan. Hasilnya membuktikan bahwa warga tak pernah mengalami kelaparan, selama 640 tahun adat itu berjalan. Dari sekitar 4.000 warga adat dalam yang melakukan pola pertanian itu, diperoleh hasil 270 ton gabah kering siap tumbuk pada tahun 2008 ini.

Kampung itu memang begitu terpencil dan terisolasi. Namun sepertinya justru itulah yang kian membentuk identitas dan jati diri warga. Ada kesan kuat terpancarkan pada para tamu, betapa mandirinya desa adat ini, seolah tak tersentuh otoritas negara. Seakan keterpencilan mereka justru menjadi kekuatan pemikat bagi orang-orang kota. Buktinya, puluhan ribu orang rela berpayah-payah datang ke kampung itu.

Laporan yang disampaikan oleh Abah Ugi disampaikan secara ringkas di hadapan warga yang terdiri dari 740 baris kolot lebur dan ribuan rakyat. Kolot lebur adalah sesepuh perwakilan kampung dari berbagai penjuru, semacam menteri yang menjadi pembantu Abah Ugi di daerah. Di tangan baris kolotlah segala ketentuan dari pusat tatanan adat sampai ke rakyat Kasepuhan.

Begitu teratur, perkampungan Ciptagelar telah memberikan nuansa daerah terisolasi tak selamanya miskin. Warga hidup damai, berkecukupan, dan memiliki sesuatu yang didambakan masyarakat kota selama ini yaitu waktu luang (leisure time) yang panjang. Dikitari sawah hijau menghampar, riak air terus mengalir, rumah adat yang berdiri kokoh dan bersih, serta ketersediaan sumber daya alam yang mencukupi. Sebuah desa yang sebenar-benarnya.

Kasepuhan Ciptagelar sendiri baru tujuh tahun berdiri. Sebelumnya, pusat kasepuhan ini berada di Ciptarasa, sekitar dua jam perjalanan dari tempat tersebut. Mendiang Abah Anom dengan persetujuan para sesepuh kemudian memindahkan pusat kraton tersebut ke Ciptagelar, dan tetap berdiri hingga kini. Kampung adat ini memang sering berpindah. Sudah 11 kali kasepuhan itu pindah tempat.

Meski menjadi kolot girang yang berusia muda, Abah Ugi banyak dicari orang dari berbagai kalangan. Antrean tamu memanjang menunggu giliran bertemu. Warga juga tunduk dan menghormati kepemimpinannya. Kepatuhan ini bukan karena berbagai mitos yang tercipta atau diciptakan. ”Kami tunduk karena memang aturan adat telah menggariskan Abah yang menjadi pemimpin,” kata salah satu sesepuh pada saya.

Warga yakin, Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau menteri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang yakni Abah Ugi. Ia didampingi seorang sesepuh induk yang mendampinginya menjalankan struktur kesatuan adat Banten Kidul sehari-hari.

Sesepuh induk inilah yang menjadi mediator untuk mempertemukan para kolot lebur dengan Abah Ugi. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lebur di daerah. Jika gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk. Sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Ugi yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adat.

Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat. Fungsi-fungsi yang biasanya ada di antaranya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru doa, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda.

Ciptagelar juga memiliki pujangga keraton, Ki Radi (50) namanya. Malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang, kini gilirannya bertugas. Membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, menuturkan asal-usul perjalanan hidup Kasepuhan Banten Kidul dari Bogor hingga di kaki hutan Taman Nasional Gunung Halimun.

Tak jauh dari Imah Gede, saya melihat sebuah studio radio berlantai dua. Ciptagelar memang telah memiliki media informasi berupa radio komunitas. Dari informasi yang saya dapatkan dari salah satu staf, investasi untuk radio Ciptagelar ini dibantu Institut Bisnis dan Ekonomi Rakyat, Rp 8 juta untuk membeli sejumlah peralatan. Abah Ugi lah pendirinya, saat belum dilantik sebagai kolot girang.

Menurut Abah Ugi, radio komunitas didirikan untuk mengembangkan adat dan budaya. Berbagai ragam kesenian Sunda seperti kesenian wayang golek, klasik sunda, dan dog dog lojor diperdengarkan. Beberapa siaran mengenai program pendidikan dan kesehatan bekerjasama dengan pemerintah daerah dan sejumlah LSM juga diperkenalkan kepada warga.

Yang menarik, Ciptagelar juga dikenal mandiri untuk pembangunan berbagai fasilitas mulai dari jalan hingga permukiman. Mereka juga tak tergantung dengan dunia luar. Kebutuhan energi terutama dipasok dengan pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Orang sini terkenal pandai membuat kincir air, biasanya sering diminta untuk membuat kincir di daerah lain, kata Zainal yang membuat salah satu kincir air di Gunung Boto.

Keramaian di Ciptagelar tentu saja mengundang pedagang dari luar. Berbagai penganan, bahkan pedagang es krim hadir di tempat tersebut. Padahal perjalanan ke kampung adat tersebut bukannya mudah. Saat saya tanya, mereka hanya tertawa saja. ”Sudah biasa, tiap tahun saya ke sini mas. Ikut meramaikan sekaligus dagang,” ujar satu pedagang es krim yang tampak dikerubiti anak-anak.

Saya berkeliling pemukiman di Ciptagelar, melewati perkampungan penduduk yang ramai, juga tenda sejumlah pedagang yang menjual bermacam komoditas dari kerajinan masyarakat adat sampai coca cola. Wah coca cola sampai juga rupanya ke gunung Halimun. Hebat. Mungkin tak lama lagi pedagang bisa saja menjajakan KFC atau burger Mc Donalds ke desa adat yang makmur itu.

Banyak pantangan di perkampungan adat ini yang mesti dipatuhi warga. Misalnya saja, warga dilarang membangun rumah beratapkan genting karena genting terbuat dari tanah, sementara manusia diciptakan dari tanah. Jadi atap rumah di kasepuhan Ciptagelar umumnya terbuat dari ijuk atau asbes. Selain itu, warga asli juga dilarang menjual nasi atau beras. Bahan makanan pokok itu adalah hidangan untuk dibagi kepada para tamu.

Upacara Seren Taun dalam bentuk pawai dan arak-arakan pun menjadi keramaian tersendiri. Debus, rengkong, angklung gubrak menjadi andalan arak-arakan Seren Taun Ciptagelar. Begitu juga jipeng, topeng, wayang golek, ujungan, pantun buhun, dog-dog lojor, pencak silat, gondang dan sebagainya. Tetapi yang terutama tentu saja penyimpanan pare indung di lumbung komunal.

Prosesi yang dipimpin langsung oleh Abah Ugi didampingi sejumlah pejabat kabupaten Lebak itu berjalan hikmat dan diakhiri dengan ritual memasukkan padi ke dalam Leuit Si Jimat. Pantun Sunda dilantunkan untuk memuji Tuhan, diiringi petikan kecapi. Upacarapun selesai. Meskipun demikian, acara hiburan rakyat masih terus berjalan hingga keesokan harinya.

Saya hanya dapat bercerita dan mengambil beberapa gambar seraya memikirkan bagaimana caranya keluarga kasepuhan ini bisa sampai ke Ciptagelar? Sudah lebih dari 600 tahun mereka berada di kaki Halimun. Perempuan-perempuan di Ciptagelar begitu bersih, putih, dan memiliki ciri fisik yang mirip etnis China, dan rata-rata cantik. Sungguh, ini perjalanan liputan yang tak terlupakan. iwansams@jurnas.com

* Naskah ini dimuat di Majalah ARTi edisi 006 21 Agustus - 4 September 2008 rubrik Features halaman 93 - 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar