Senin, Juni 30, 2008

Polemik Manifesto Seni

Pameran besar Seni Rupa Indonesia 2008 bertajuk Manifesto yang digelar di Galeri Nasional melahirkan polemik dan wacana menarik soal seni rupa. Sejumlah kurator dan praktisi seni rupa menyampaikan kritiknya, dan para kurator Manifesto berupaya menangkisnya.

Iwan Samariansyah
iwansams@jurnas.com

PAMERAN Manifesto Seni sukses digelar pada 22 Mei – 15 Juni 2008 yang lalu. Paling tidak gebrakan tersebut berhasil mencairkan kebekuan relasi seni rupa berbagai aliran yang selama bertahun-tahun tak bisa berpameran bersama di satu tempat dan waktu. Ada 350 orang perupa terbaik Indonesia yang melibatkan diri. Jumlah ini jelas cukup kolosal dan terbesar sepanjang sejarah seni rupa Indonesia.

Karya-karya yang dipamerkan dalam Manifesto juga cukup lengkap. Mewakili berbagai komunitas, kelompok, generasi juga aliran seni rupa. Ada berbagai lukisan, dari realisme, naturalisme hingga abstrak ; berbagai patung berukuran besar dan kecil ; seni instalasi dari yang indah mencengangkan hingga yang menyerempet klenik dan horor ; beraneka ragam poster dan grafis dan lain-lain.

Meski mengundang banyak pujian dan kekaguman, pameran Manifesto juga dihujani cukup banyak kritik dari berbagai pihak yang mengikuti perkembangan seni rupa modern di Indonesia. Kurasi dipertanyakan, makna seni rupa kontemporer Indonesia juga, bahkan kesadaran kebangkitan seni rupa itu sendiri. Seolah-olah, pameran Manifesto tengah diadili oleh dalam proses pencatatan sejarah seni rupa modern Indonesia.

Untungnya, para kurator manifesto yakni Jim Supangkat, Rizki A Zaelani, Kuss Indarto dan Farah Wardani dalam katalog pameran sudah pasang kuda-kuda. Mereka tegas-tegas menyatakan bahwa meski Manifesto disebut-sebut sebagai pameran terbesar yang pernah digelar, namun apa yang digelar sama sekali tidak dimaksudkan untuk menampilkan suatu konsep seni rupa Indonesia.

Manifesto juga tidak bertujuan mempertontonkan suatu pemikiran seni yang menelurkan formulasi seni yang katakanlah ”beridentitas Indonesia” ; maupun pernyataan tentang praktik seni yang bertumpu pada nasionalisme. Keempat kurator sepakat bahwa Manifesto hanyalah pernyataan bersama dari 350 peserta pameran yang ingin mengukuhkan pengertian dan wacana seni dan seni rupa Indonesia saat ini.

Perupa dan mantan dosen ISI Yogyakarta Nyoman Gunarsa menuding bahwa karya-karya yang ditampilkan dalam Manifesto terlalu mengekor ke barat. ”Saya melihat bahwa Manifesto justru menjustifikasi bahwa semangat seni rupa dari barat menjadi primadona dari para perupa kita. Semangat lokalitas tidak tumbuh dan menguat sehingga hal ini terasa amat ironis,” ujarnya kepada Doddi Ahmad Fauzi.

Jim Supangkat sebagai kurator pameran Manifesto berupaya menjawab tuduhan Nyoman Gunarsa soal mengekor ke barat itu. Secara tak langsung, Nyoman memang mengkaitkan kuatnya pengaruh barat itu sehubungan keberadaan dirinya. Maklumlah, Jim berasal dari Bandung. Dan Bandung, pada masa-masa lalu lalu pernah dihujat bahkan diberi stempel pengekor seni rupa Barat, bahkan laboratorium seni rupa Barat.

”Saya kira patut dibaca lagi apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Manifesto Seni itu. Kita mesti melihat dan menyadari kecenderungan masing-masing seniman di Indonesia. Persoalan seni rupa Indonesia berkiblat ke Barat atau ke Timur adalah wacana usang dan tidak penting. Menurut saya, tuduhan soal kecenderungan kiblat ke Barat tidak disertai kajian yang mendalam dan komprehensif,” ujarnya kepada Argus Firmansah.

Persoalan lokalitas yang dipandang tidak muncul pada pameran Manifesto Seni, menurut kurator independen kelahiran Makasar, 2 Mei 1948 ini, harus dilihat secara lebih mendalam. Seni rupa di Indonesia pada sejarah awalnya oleh Raden Saleh, misalnya, merupakan proses establishing modernity di Indonesia yang pada saat juga terjadi di Eropa.

Lokalitas dalam Manifesto Seni dilihat dengan kacamata contemporary culture yang sekaligus menjelaskan keberadaan lokalitas keindonesiaan yang disuguhkan oleh 350 seniman yang terlibat, sekaligus seni rupa kontemporer Indonesia.

Hujaman kritik terhadap pameran Manifesto yang bersinergi dengan momen sejarah perayaan seratus tahun Kebangkitan Nasional Indonesia itu sah sebagai sebuah polemik perdebatan yang sehat. Seni juga bukan hanya untuk dinikmati, tetapi penting untuk diperbincangkan agar sejarah seni rupa modern Indonesia saat ini disadari oleh para seniman, kritikus, kurator, bahkan ahli sejarah seni rupa Indonesia.

Jim menjadi kurator untuk karya-karya yang dipamerkan dengan spesifikasi Seni dan Rasa Keindahan. Dia memilih beberapa karya dengan berbagai gaya dan wujud antara lain karya-karya Angki Purbandono, Agus Sudarto, Anusapati, Pratomo Sugeng, Oco Santoso, Krisnamukti, Rita Widagdo, Edo Pillu, Dadan Setiawan, Nasrul dan lain-lain, untuk mendukung pendapatnya.

Mikke Susanto, kurator Jogja Gallery dan kritikus seni rupa menyampaikan apresiasinya bahwa Galeri Nasional berhasil menggelar hajatan perupa terbesar di tanah air. Hanya saja dia menyayangkan bahwa secara tematik pameran manifesto tidak bisa menggambarkan atau mewakili keseluruhan dunia seni rupa Indonesia. ”Sekedar sebagai perayaan okelah, tapi kurang mewakili keberagaman,” ujarnya kepada Anitya Wahdini.

Mikke mengkritik Jim yang menulis dalam kuratorialnya bahwa pameran manifesto memperlihatkan restrospeksi seni rupa Indonesia sejak era 1970-an hingga masa kini. Menurut dia, Jim tampaknya lupa mencermati pengertian dan perkembangan seni rupa mutakhir. Dia melihat adanya ketidaklengkapan sisi seni terakhir yang berkembang di kalangan seniman muda ini terasa mengganggu.

Soal tersebut lantas disanggah oleh Jim yang menyatakan bahwa seni rupa kontemporer tidak mempunyai ciri-ciri yang khusus. ”Akan banyak orang yang tertawa, terutama mereka yang memahami seni rupa dunia bila ada seseorang di Indonesia yang memberikan ciri seni rupa kontemporer,” ujar Jim.

Menurut dia, seni rupa kontemporer tidak bisa diberikan ciri-cirinya seperti apa. Paling tidak, seni rupa kontemporer berakar dari contemporary culture yang bagi seorang modernist dienyahkan karena seni tidak mau mereka selalu kaitkan dengan persoalan budaya. Budaya dianggap masa lalu oleh orang modernist karena selalu berhubungan dengan sesuatu yang bersifat tradisi di masa silam.

Lantas kritik mengenai seleksi karya yang ditampilkan dalam manifesto, menurut pengakuan Jim, bahwa senimanlah yang menentukan karya mana yang dianggap mewakili kecenderungan dirinya dalam mengolah kreatifitas sesuai dengan konteks sosial, politik, budaya, dan pandangan mereka terhadap seni, ke dalam karyanya. ”Jadi tidak benar bila sayalah yang menyeleksi karya mana yang akan disajikan dalam manifesto,” katanya.

Jim Supangkat juga membenarkan kritik Agus Dermawan T, bahwa seorang kurator mengambil resiko besar dalam Manifesto Seni. Dan karya kontemporer itu memang tidak dijelaskan oleh Jim Supangkat dalam pengantar kurasi yang ada di dalam katalog. ”Saya dibatasi ruang yang ada di buku katalog. Terbatas ruang bila semua detail tentang seni rupa kontemporer harus dijelaskan semuanya,” tukas Jim.

Membaca kritik Aminudin TH Siregar, Jim Supangkat menjawab bahwa motif politik di dalam Manifesto Seni itu ada. Pameran itu tidak ada kaitannya dengan program pemerintah dengan ikon seratus tahun kebangkitan nasional.

Yang hendak dikemukakan oleh Jim Supangkat dan kawan-kawan melalui Manifesto Seni justru menunjuk pada upaya pembacaan sebuah realitas seni dan contemporary culture yang menjadi aksi seni rupa kontemporer di Amerika dan Eropa atas perkembangan seni rupa di Indonesia saat ini. Proses tersebut berjalan timbal balik, dan sama sekali bukan sebagai pengekor.

Kurator pameran Manifesto lainnya yang dihubungi Heru Prasetya di Yogyakarta yakni Rizki A Zaelani menyampaikan apresiasinya atas kritik yang muncul terhadap pameran akbar Manifesto. Menjawab kritik Nyoman Gunarsa, anggota Dewan Kurator Galeri Nasional Indonesia ini menyatakan bahwa pameran manifesto memang bukan pameran survei perkembangan.

”Pameran ini mengundang seniman untuk menampilkan karya yang menurut mereka
baik sesuai dengan persepsi mereka tentang seni. Saya nggak bisa bilang bahwa seluruh perkembangan seni rupa Indonesia hanya melulu bicara tentang seni. Ada sisi lain yang dikembangkan. Tapi pameran Manifesto memang lebih menyorot apa persepsi seni menurut seniman dan kemudian dinyatakan dalam karyanya. Ada yang menjelaskan secara langsung dan ada yang tidak,” ujar lelaki kelahiran Bandung, 27 Desember 1965 itu.

Dia mengakui bahwa berkaitan dengan arah perkembangan yang terjadi sekarang, komentar Nyoman Gunarsa ada benarnya. Ada sisi-sisi yang menunjukkan perkembangan yang umum. Karena umum seperti itulah maka orang lantas menilai menjadi mirip. ”Itu yang mungkin dimaksud Pak Gunarsa sebagai mengekor barat,” ujar Rizki.

Menurut alumni FSRD ITB ini, ada satu ciri perkembangan yang hampir berkaitan dan kemudian dilakukan beberapa kelompok seniman, sehingga dinilai sebagai mengekor tadi. ”Akan tetapi menurut saya itu bukan mengekor. Itu adalah kecenderungan, sehingga bisa saja terjadi seperti itu. Saya juga menolak itu disebut sebagai kemunduran. Itu menunjukkan tanda-tanda perkembangan sesuai dengan apa yang dikehendaki masa sekarang. Misalnya karya-karya cenderung menjadi lebih abstrak,” tukasnya.

Dalam Manifesto ada dua tema yang paling besar, yaitu narasi dan seni. Tema seni diisi lebih banyak oleh karya yang menafsirkan seni sebagai cara untuk menyatakan keindahan. Orang bisa menggunakan seni untuk menunjukkan keindahan. Tanpa lewat seni pun sebenarnya gejala itu sudah indah, misalnya pemandangan alam atau perempuan cantik. Kemudian seni menyatakan kembali. Tapi ada karya yang menyatakan keindahan karena caranya, ini yang tampak menonjol saat ini.

Menurut Rizki, sewaktu undangan disebarkan ke komunitas perupa di berbagai provinsi, sebenarnya ada sejumlah penjelasan yang dicoba diuraikan. Penjelasan ini bukan bermaksud menjelaskan karya-karya yang nanti akan dipamerkan. Modelnya bukan model ada masalah kemudian seniman bereaksi. Yang diinginkan adalah bagaimana persepsi seni itu hidup di kepala seniman.

”Kemudian saya menemukan empat jawaban itu. Persepsi itu masuk untuk menyatakan keindahan, narasi, persepsi moral, dan untuk menyatakan eksistensi. Kemudian seninya tampak pada karya. Mereka bebas menafsirkan. Otomatis antara penafsiran moral dengan penafsiran seni menjadi satu. Tema seni kemudian dimunculkan karena sebenarnya persepsi tentang seni itu bisa berbeda-beda,” ujarnya.

Bagaimanapun, problematika seni ini sebenarnya memiliki korelasi dengan semangat kebangkitan itu. Karena dasar dari semangat kebangkitan sebenarnya adalah hidupnya kesadaran modern. Itu paralel dengan kesadaran tentang seni.

Karena istilah ekspresi seni dalam pengertian art sebenarnya adaptasi dari pengertian-pengertian dunia modern. Nggak ada batas wilayah lagi. ”Di masyarakat tradisi juga tidak ada galeri. Nggak ada tradisi pameran, kolektor. Yang ada seni menjadi bagian dari kehidupan komunitas. Tidak ada pemisahan,” katanya.

Pameran Manifesto, kata Rizki, sebenarnya mencoba mengisi narasi bangsa identik dengan narasi tentang identitas seni, bukan identitas politik. Orang akan pusing
kalau berbicara soal seni jaman Soekarno atau Soeharto. Tidak ada pembabakan seperti itu di dalam seni.

Ada beberapa karya yang dianggap lebih baik, dianggap bermakna oleh satu masyarakat yang sama di tempat yang berbeda. Tapi ukurannya karena persamaan persepsi tentang kemajuan seni. Ada karya untuk masyarakat sini tidak dianggap, tetapi untuk yang di sana dianggap bagus.

* Bahan-bahan tulisan dikumpulkan oleh Dwi Fitria, Doddi Ahmad Fauzi dan Anitya Wahdini (Jakarta), Argus Firmansah (Bandung) dan Heru Prasetya (Yogyakarta)

** Dimuat di Majalah Dwi Mingguan ARTi, edisi 003 03 - 16 Juli 2008 halaman 87 - 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar