Sabtu, Juni 14, 2008

Indahnya Kegilaan di Koong

Tiga perupa menyajikan kegilaan berkreasi di Galeri Koong, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Pameran itu dipadati pengunjung, orang awam, seniman dan kolektor.

Iwan Samariansyah

iwansams@jurnas.com

AWALNYA adalah ide untuk menunjukkan kecenderungan karya-karya yang bersifat ekspresif tapi juga bersifat naratif dalam peta perkembangan seni rupa kontemporer di Yogyakarta. Begitu saya baca tulisan pemilik Koong Gallery Sing Sing pada pengantar kuratorial pameran bersama tiga pelukis asal Yogyakarta Ugo Untoro, Yustoni Voluntero dan Cahyo Basuki Yopi, digelar mulai 23 Mei – 1 Juni 2008.

Jum’at malam 23 Mei lalu, kolaborasi trio pelukis berpenampilan nyentrik dan semau gue itu mulai digelar. Galeri yang terletak di lantai 1 The Darmawangsa Square itu sudah dipenuhi pengunjung saat saya tiba. Makanannya enak, dan minumannya segar. Bahkan tersedia pula wine, minuman mahal yang tak semua orang bisa membelinya itu. Saya berdecak kagum. Acara belum lagi dibuka, tapi pengunjung sudah berdatangan.

Pameran bersama itu bertajuk de Tour. Ada 26 lukisan berbagai ukuran dengan media oil on canvas, kecuali satu karya Ugo Untoro berjudul Angin Kiri berukuran 100 x 150 cm yang dibuat dengan media mixed on canvas. Perupa Cahyo Basuki Yopi selain menampilkan lukisannya, juga mengusung dua karya seni instalasinya dengan media stainless steel yang unik dan mencuri perhatian.

Pada lembar undangan disebutkan bahwa pembukaan pameran dilaksanakan pada pukul 19.30 WIB oleh Steak Daging Kacang Ijo. Mulanya banyak pengunjung, termasuk saya, mengira bahwa itu nama makanan. Baru setelah sekumpulan pemusik membawa peralatan musik tampil di depan membawakan musik dan lagu yang bikin telinga berdenging dan tak nyaman semua baru faham, bahwa itulah nama grup musik itu.

Yang menarik, salah satu personil Steak Daging Kacang Ijo entah mabuk atau bagian dari aktingnya sebagai seniman usai pembukaan pameran dengan cueknya tidur di lantai ruang pameran. Tidur dengan gaya mlungker persis udang laut, diapun tidur dengan lelapnya di tengah-tengah para pengunjung pameran yang berlalu lalang. ”Walah, dasar wong gemblung (dasar orang gila),” celetuk seseorang.

Kegilaan yang indah. Mungkin itulah yang hendak ditawarkan para perupa dengan karya-karyanya malam itu. Bisa jadi begitulah citra yang terbentuk di benak pengunjung ruangan galeri Koong malam itu. Warna-warni Ugo Untoro yang ekspresif dan menyergap mata dengan tema-tema yang sepele namun menyentil adalah khas karya perupa kelahiran Purbalingga, 28 Juni 1970 itu.

Alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan sudah berpameran sejak 1988 ini selalu memulai proses berkarya dari bermacam persoalan yang luput dari perhatian kita. Penjelajahan ini lah yang menjadi kekuatan karya-karya Ugo. Kadang mengejutkan dan membuat kita tertegun karena kebersahajaan namun begitu dalam maknanya. Coba saja simak karyanya yang bertajuk Angin Kiri dengan pigura berukuran 100x150 cm.

Lukisan itu menggambarkan kaki manusia telanjang dalam sepotong kain atau kayu yang pada bagian kirinya membentuk wajah manusia tampak samping. Ini adalah salah satu karya yang terjual malam itu, padahal harganya tidak murah : Rp 75 juta. Entah, siapa kolektor yang membelinya. Namun karya Ugo itu membawa kita bertanya-tanya nasib apa yang menimpa si pemilik kaki yang menghadap ke kiri itu ?

Ugo Untoro menampilkan sembilan lukisan malam itu. Selain Angin Kiri, ada pula lukisan bernuansa tragis bertajuk Kota Yang Hangus. Ugo seakan hendak melukiskan situasi salah satu pojok kota yang sedang dilalap si jago merah. Kegemaran Ugo memakai judul lukisan dalam bahasa Inggris juga makin menjadi-jadi. Setidaknya empat dari sembilan lukisannya masing-masing berjudul : Am I Too Handsome ?, I Have Nothing For You #2, Night Simphony dan On The Cradle.

Saat ditanya kenapa bisa begitu, pria yang kini tidak lagi tampil plontos itu menjawab dengan cuek. ”Ya biar keren aja. Asyik kan,” ujarnya sembari melihat-lihat majalah ARTi yang sedang dipegangnya. Lelaki yang malam itu tampil dengan baju lengan panjang berwarna merah muda dan rompi hitam serta celana panjang jeans belel dengan ramah menerima ucapan selamat dari kolega-koleganya.

Ugo dengan senang hati dia membubuhkan tanda tangan pada poster karya-karya lukisannya yang dibagikan secara gratis. Perupa yang karyanya Kuda pernah dinobatkan sebagai obyek pameran terbaik pada pameran tutup tahun bertajuk Kuota : Inbox 2007 di Galeri Nasional pada 18 – 30 Desember 2007 lalu itu tampaknya memang menjadi bintang pameran di Koong Gallery malam itu.

”Lukisan-lukisan Ugo menunjukkan imej-imej yang menggambarkan sosok dalam kondisi kegelisahan. Ugo adalah ikon bagi semangat perlawanan kaum muda menentang rezim ketaatan sosial yang dijalankan kekuasaan atas nama kemajuan dan kebebasan sosial. Satu gerakan yang diadopsi dari generasi bunga yang tumbuh di dunia barat,” ujar Rizki A. Zaelani dalam buku kuratorial pameran yang saya baca.

Kedua perupa lain Yustoni Voluntero dan Cahyo Basuki Yopi juga menunjukkan kecenderungan senada meski dengan gaya yang berbeda. Tema-tema gambaran dalam karya-karya yang ditampilkan (tujuh karya dari Yustoni dan 12 karya dari Cahyo) seolah-olah tengah menunjukkan berbagai kepingan cerita yang berhamburan begitu saja dari benak masing-masing perupa. Ekspresif dan kadang bersifat liar. Gila.

Menurut Rizki, sebagai kurator dia menilai bahwa Ugo, Toni dan Yopi secara umum menunjukkan kecenderungan yang saling berkaitan. Seluruhnya menunjukkan penggambaran bidang-bidang kosong berwarna (kadang tampak ekspresif, kadang datar-datar saja) menjadi semacam ruang sepi yang, sepertinya, tengah menyembunyikan sesuatu. Kekosongan itu lantas memberikan energi pada berbagai imej yang ditempatkan pada bidang kanvas.

Imej itulah yang terlihat pada karya Ugo berjudul Bonsai Series yang menggambarkan seorang lelaki yang melata di bawah sapuan dahsyat kuas berwarna kelabu diatasnya. Atau karya Toni yang judulnya seperti hendak mengajak bermain kata-kata Long Live Love Long Live Life, sebuah lukisan seorang laki-laki berambut panjang yang tengah tertidur lelap di ranjang yang ada simbol hati di atas kepalanya.

Sedangkan perupa Yopi tampaknya sedang senang bermain-main dengan puluhan resistor yang terangkai tak beraturan di sebuah ruang luas bewarna. Itu bisa disimak pada karyanya berjudul Bug Series dengan media oil on canvas berukuran 150x100 cm, atau lukisan-lukisannya yang lain berjudul Resistor John, B.S. Colony, Dying, B.S. Hatch Out, Hatch Out dan In Love. Rangkaian resistor yang umumnya disepelekan orang tapi bisa menjadi lukisan unik yang ditawarkan Yopi seharga Rp 13 juta per unitnya. Wow !

Dari segi usia dan pengalaman, Ugo Untoro adalah yang paling senior dan paling lama jam terbangnya diantara ketiga perupa tersebut. Dia juga pernah berpameran beberapa kali di luar negeri diantaranya di Kuala Lumpur (Malaysia), Singapura, Paris (Prancis), Vietnam dan Washington D.C (AS). Pada dekade 1990-an, penghargaan Philip Morris Indonesian Art Awards beberapa kali pernah pula disabetnya.

Pengalaman internasional Ugo tersebut tampaknya bisa ditandingi oleh Yustoni Volunteero. Pria asal Bantul, Yogyakarta itu pernah melanglang buana ke Australia pada 2002 dan kemudian sempat pula tampil dalam pameran bersama sejumlah pelukis lainnya di Belanda dan Jerman pada 2004. Yopi yang termuda diantara ketiganya (kelahiran Surabaya 2 Maret 1975), belum pernah berpameran di luar negeri.

Mengapa disebut de Tour ? Trio perupa ini sepertinya mengalami rute perjalanan sedemikian rupa yang khas yakni berputar. Ugo, Toni dan Yopi seolah bergerak menjauh untuk kemudian sampai pada tempat yang dimaksud sebelumnya. Rute itu berlaku sebagai perjalanan melingkar atau de Tour. Itu bukan rute potong kompas, agar menjadi cepat dan ringkas, tetapi justru cara menyingkir, mengembara untuk sementara.

Rute itu ditempuh dengan cara membawa serta pada ekspresi karya ketiganya sebuah kekuatan imajinasi. Karya itulah yang menjadi semacam jangkar (anchor) bagi sikap keprihatinan mereka. Mereka tidak peduli dengan apa penilaian orang lain terhadap karya yang dihasilkan. ”Bagi mereka, karya mereka adalah bagian dari apa yang disebut dengan totalitas dalam kebebasan berekspresi,” tulis Rizky dalam kuratorial pameran.

Itu pula bagi sebagian pengunjung, banyak yang menilai kebebasan yang dipamerkan oleh ketiga perupa di Koong Gallery itu agak di luar batas normal. Atau sebut saja diliputi kegilaan. Musik yang membuka pameran dengan para pemain musiknya yang serampangan, cara berpakaian yang juga seenaknya bahkan juga lukisan-lukisan ketiga perupa yang susah difahami dan makanannya yang enak gila. Pendek kata, pameran di Koong itu adalah sebuah pameran kegilaan. Kegilaan yang indah.

Begitulah. Lukisan-lukisan Ugo, Toni dan Yopi telah bicara. Bagi ketiga perupa ini, hal-hal kecil dan sepele bisa menjadi inspirasi untuk membuahkan karya. Jangan lupa, ke 28 karya lukisa ketiga perupa termasuk seni instalasi Yopi semua dibuat pada 2008. Karya kuas mereka jelas bukan jenis artopoppian, dan tentu saja juga lebih kaya ketimbang segi empat. ”Lukisan bukan benda,” kata Ugo.

Menurut Ugo, sebuah lukisan lahir, berasal dan hidup terengah-engah dari puluhan lukisan lain yang tak perlu dimuseumkan, dipasarkan atau dipamerkan. Ia menegaskan bahwa lukisannya tak dimaksudkan berada dalam perkembangan sejarah seni lukis apapun atau hendak dimasukkan dalam isme yang sudah jadi. ”Lukisan saya adalah ekspresi kebebasan. Itu saja,” tukasnya.

Karya-karya yang ditampilkan oleh Ugo, Toni dan Yopi dalam pameran ini menunjukkan kuatnya idealisme untuk membuat lukisan tetap berbentuk. Karena bentuk itulah, lukisan ketiganya bersifat khas dan percaya diri. Bagaimanapun, lukisan adalah gambar yang diperumit atau disederhanakan. Tanpa idealisme yang memadai, bagaimana menunjukkan kegelisahan dan kerisauan sang pelukis pada dunia ?

*) Tulisan ini dimuat di Majalah dwimingguan ARTi edisi 002, 12 Juni - 25 Juni 2008 halaman 68 - 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar