Iwan Samariansyah
iwansams@jurnas.com
DALAM konsep klasik hubungan internasional, aktor yang terlibat adalah negara, lengkap dengan pembuat kebijakan yang ada di dalamnya, serta aktor bukan negara seperti organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, atau perorangan. Perkembangan teknologi dan globalisasi dewasa ini, memperluas peran aktor non-negara untuk berpartisipasi dalam komunitas internasional.
Pola hubungan internasional pun bisa jadi telah bergeser. Kini hewan dan virus juga bisa mempengaruhi hubungan antar negara. Virus sapi gila misalnya. Virus ini menjadi aktor dalam hubungan internasional ketika dia menginfeksi sapi-sapi di Inggris yang akan diekspor ke Prancis. Gara-gara virus mematikan ini maka hubungan kedua negara bertetangga itu sempat terganggu.
Ketika virus Bovine spongiform encephalopathy (BSE) atau lebih dikenal dengan penyakit sapi gila menjangkiti ribuan hewan ternak di Inggris tahun 2000, Prancis memutuskan pelarangan sementara impor daging sapi dari Inggris. Bahkan Prancis mengharamkan donor darah dari orang-orang yang pernah berada di Inggris saat penyakit sapi gila merebak di negara itu.
Kekhawatiran Prancis saat itu bukan tanpa sebab. Penyakit yang hingga kini belum ada vaksinnya itu, dilaporkan telah membunuh 300 orang dalam kasus di Inggris sejak awal tahun 1990-an (World Health Organization/WHO, 2000). Virus tersebut menulari manusia lewat pemakanan daging yang terjangkiti penyakit sapi gila.
Temuan kasus penyakit sapi gila, akhir 2003 silam di Amerika Serikat juga menimbulkan kepanikan dan guncangan di seluruh dunia. Maklum saja kekuatan ekspor daging sapi AS menjangkau ke seluruh dunia.
Kehebohan itu tidak hanya menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga pasar. Pebisnis produk peternakan di AS panik, terutama karena puluhan negara, termasuk
Selain dampak positif dan negatif dari segi ekonomi dan sosial, globalisasi juga menghasilkan konsekuensi penting lain yang mesti ditanggung warga dunia, yaitu globalisasi juga memperluas jangkauan penyebaran penyakit. Kini dunia dihadapkan dengan ancaman terorisme jenis baru, yakni bioterorisme melalui penyebaran penyakit menular dari satu negara ke wilayah negara lain lewat media manusia, hewan, tumbuhan, atau bahkan makanan.
Penyebaran virus AIDS, polio, sindrom pernapasan akut parah (SARS), flu burung, penyakit sapi gila, anthrax, penyakit mulut dan kuku, demam berdarah, dan virus ebola adalah beberapa contoh bioterorisme yang tak mengenal batas negara. Beberapa di antaranya adalah virus yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal, dan ada pula yang sudah lama menghilang, namun kini merebak lagi.
Sebelum heboh penyebaran virus polio liar, pada tahun 2002 masyarakat dunia juga dibuat panik oleh penyebaran SARS dan flu burung.
Menurut dugaan WHO, kasus SARS pertama kali muncul pertengahan November 2002 di ProvinsiSetelah itu, setidaknya ada 14 tamu yang menginap di kamar yang sama, yang akhirnya ikut terinfeksi dan menyebarkan virus tersebut saat berobat ke rumah-rumah sakit di
Teror yang sama mematikan dan mencekamnya adalah virus flu burung (H5N1), dengan gejala umum seperti demam tinggi, batuk dan sulit bernafas. Virus ini diduga pertama kali muncul di Hongkong tahun 1997 dan kemudian menyebar ke China, Jepang, Korea, Vietnam, Laos, Thailand, dan Indonesia. Sebagian besar penderitanya meninggal sepuluh hari setelah tertular. Menurut data WHO, jumlah penderita flu burung yang tewas sejak 2003 hingga Agustus 2006, mencapai 141 orang. (WHO/BBCNews).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar