Selasa, September 07, 2010

Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas

Tuntut Bagi Hasil yang Lebih Adil

Inilah dia organisasi yang lahir sebagai buah dari kebijakan otonomi daerah di era reformasi. Menghimpun sejumlah daerah penghasil migas di Indonesia.

SEJAK bergulirnya soal otonomi daerah seiring dengan tibanya era reformasi pada 1998, maka berbagai kebijakan di jaman orde baru yang tadinya diterima dengan pasrah mulai digugat. Saat itu, muncul kegelisahan dari sejumlah daerah penghasil minyak dan gas bumi di tanah air.

Para pemimpin daerah itu : Gubernur, Bupati dan Walikota merasakan sesuatu yang kurang wajar dalam soal bagi hasil migas. Saat itu tercatat ada 80 daerah penghasil migas di tanah air. Semua merasa senasib. Maklumlah, pada jaman orde baru, daerah tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ditentukan oleh pemerintah pusat.

Daerah hanya bisa pasrah menerima berapapun yang diberikan oleh pemerintah pusat dari perolehan dana dari sektor migas. Inilah yang kemudian menjadi latar belakang terbentuknya komunitas para pemimpin daerah bernama Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) tersebut.

”Spirit otonomi daerah dan soal keadilan dalam bagi hasil migas itulah yang mendorong terbentuknya FKDPM pada 2001,” ujar Muliana Sukardi, Direktur Eksekutif FKDPM kepada Eksplo, Rabu (20/5) lalu.

Begitulah. Era otonomi daerah telah melahirkan semangat baru. Daerah juga ingin mengetahui darimana dan berapa sebenarnya dana bagi hasil yang wajar diterima oleh daerah dari sumber daya alam yang secara kebetulan ada di wilayahnya. ”Pertemuan pertama terjadi di Cikarang dan semua sepakat agar soal bagi hasil migas harus dijalankan secara transparan, terbuka dan berkeadilan,” kata Muliana.

Gagasan itu lantas digulirkan dalam berbagai asosiasi tempat berhimpunnya sejumlah kepala daerah. Saat itu ada asosiasi para Gubernur yang disebut APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia), kemudian asosiasi para Bupati yang berkumpul dalam BKKSI (Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia). Dulunya BKKSI ini bernama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Kemudian para Walikota yang berhimpun dalam APEKSI (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia).

Adapun lembaga para wakil rakyat di tingkat kabupaten dan kota berhimpun dalam ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia) dan ADEKSI (Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia). Gagasan tentang perlunya bagi hasil sumber daya alam bagi daerah penghasil gas yang lebih adil itu tentu saja disambut antusias. ”Maklumlah. Banyak yang selama ini merasa cuma menjadi sapi perah,” ujarnya.

Kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memang patut disyukuri. Ini membuat banyak pemerintah daerah bisa lebih banyak berkreatifitas dalam menjalankan pembangunan di daerahnya sesuai amanat undang-undang. Kedua Undang – Undang ini termasuk salah satu buah positif gerakan reformasi.

Namun begitu, dalam soal bagi hasil migas tampaknya pemerintah pusat kurang cepat melakukan pembaharuan aturan yang ada. Padahal masa sentralistik telah lewat, sehingga wajar kalau semua daerah penghasil migas kecewa terhadap Pemerintah Pusat. Eranya sudah baru, tetapi peraturan yang dijalankan masih memakai yang lama, dengan pola yang sentralistik.

Kekecewaan itu bukan saja terhadap besarnya perimbangan keuangan tetapi juga terhadap sistem pengelolaan, sistem perhitungan bagi hasil, sistem pembagian bagi hasil, sistem pajak, sistem pengelolaan community development, dampak pencemaran, dampak ekonomi, sosial budaya, keamanan  dan lain sebagainya.

Masing – masing baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota mencoba berdialog melalui berbagai cara dengan pemerintah pusat. Dalam hal ini ke instansi terkait yaitu Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan BP MIGAS. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan sistem dan kebijakan yang ada berkaitan dengan soal bagi hasil migas.

”Namun ternyata berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dilakukan, masih belum juga berhasil. Perjuangan menuntut bagi hasil migas agar lebih adil dan seimbang ini sangat berat sehingga rasa–rasanya tidak mungkin dilakukan sendiri–sendiri,” kata Muliana.

Dan akhirnya, salah satu pemimpin daerah penghasil migas di Jawa Barat yakni Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin memprakarsai menyempurnakan dialog dengan Pemerintah Pusat secara bersama – sama melalui suatu wadah. Akhirnya digelarlah rapat para gubernur, bupati, walikota daerah penghasil migas di Hotel Borobudur, Jakarta pada 6 September 2001. ”Ada 80 kepala daerah yang berkumpul saat itu,” kata Muliana.

Hasil akhirnya dibentuk satu tim perumus yang beranggotakan 10 orang kepala daerah. Mereka adalah H. Badrun A. Saleh (a.n Gubernur Riau), Decky Kawab, SH (Gubernur Papua), H. Irianto MS Syafiuddin (Bupati Indramayu), Ir. H. Irfan N. Djafar (Bupati Lampung Timur), H. Achmad Dadang (Bupati Karawang), Ir. HM. Zuher Effendi (a.n. Bupati Musi Banyuasin), Ir. H. Syarifuddin N. (Bupati Lahat), Syaharie Jaang (a.n. WaliKota Samarinda), Prof. DR. Ir. Djoko Santoso, MSc (mewakili ITB) dan Drs. Achmad Setiawan (Ketua LSM INPEC).

Tim perumus akhirnya memberi nama wadah tersebut Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM). Organisasi ini kemudian disahkan berdasarkan akta pendirian No. 4/2001, tanggal 31 Oktober 2001 oleh Notaris Herdimansyah Chaidirsyah, SH di Jakarta.

Kemudian panitia segera mempersiapkan Rapat Lanjutan yang diselenggarakan tanggal 13 September 2001 di tempat yang sama. Hasil rapat tersebut menyepakati dibentuknya Tim Formatur yang terdiri dari : H. Irianto MS Syafiuddin (Bupati Indramayu), H. Syamsul Arifin (Bupati Langkat), Drs. Kasmir (yang mewakili Bupati Sorong), Drs. Achmad (yang mewakili Gubernur Riau), Ir. Irfan N Djafar (Bupati Lampung Timur), Arwin AS, SH (Bupati Siak) dan H. Almalik Pababari (Bupati Mamuju). Terpilihlah H Irianto MS Syafiuddin, Bupati Indramayu sebagai Ketua Umum FKDPM periode 2001 – 2005.

Dengan adanya wadah tersebut, perjuangan mendapatkan bagi hasil yang lebih adil bagi daerah bisa lebih terkoordinasi. Posisi tawar daerah terhadap pemerintah pusat semakin kuat. Dan akhirnya memang membuahkan hasil yang baik pula. Pemerintah pusat akhirnya setuju untuk membuka kran bagi hasil bagi daerah-daerah penghasil migas.  Kesepakatan itu kemudian dijalankan hingga kini.

Besaran dana bagi hasil yang disetujui pemerintah pusat itu adalah sebesar 15 %, yang terdiri dari 6 persen untuk daerah kabupaten penghasil migas, 6 persen bagi kabupaten lain non penghasil migas di wilayah provinsi tersebut dan 3 persen sisanya untuk pemerintah provinsi. Meski kurang puas dengan besaran bagi hasil itu, mereka akhirnya menerima ketentuan dari Departemen ESDM itu.

”Perjuangan kita yang ada di FKDPM adalah agar besaran bagi hasil tersebut bisa ditambah pada masa mendatang. Ini semua karena daerah masih memerlukan dana yang besar untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing,” kata Alex Nurdin, Gubernur Sumatera Selatan yang terpilih menjadi Ketua Umum FKDPM periode 2005-2009.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009


Ingin Kelola Sumur Tua

Mengelola sumur tua ? Jangan salah sangka. Yang dimaksud sumur tua disini adalah sumur minyak. Dan para anggota FKDPM menyatakan mampu mengelola sumur-sumur tua setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008 tentang pedoman pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua.

Ketua Umum Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM), Alex Noerdin menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) siap mengelola pertambangan minyak bumi pada sumur-sumur tua. Sumur-sumur tua itu masih banyak tersebar diseluruh negeri ini. ”Daerah telah siap untuk itu. Jangankan sumur tua, lapangan migas yang baru pun juga siap,” katanya, beberapa waktu lalu.

Dalam Permen itu memang disebutkan bahwa KUD dan BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi. Permen ini sekaligus menghapus Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1285.K/30/M.PE/1996 tertanggal 26 Agustus 1996 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada sumur-sumur tua karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi.

Dalam Permen No 1/2008, yang termasuk sumur tua yakni sumur yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh kontraktor.

Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kini bisa ikut terlibat dalam proses produksi minyak dari sumur tua dengan bekerja sama melalui Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas.

Sesuai aturan, KUD dan BUMD dapat mengajukan permohonan kepada KKKS. Baik KUD maupun BUMD nantinya harus menyerahkan hasil produksi minyak mereka kepada KKKS untuk kemudian mendapat persetujuan BP Migas.

Menurut Gubernur Sumatera Selatan itu, pengelolaan oleh daerah seperti BUMD, tentunya akan berdampak positif terhadap perkembangan daerah  yakni dapat membuka lapangan pekerjaan, berkembangnya usaha sektor formal maupun informal sehingga pada akhir pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pembangunan di wilayahnya.

Sekali lagi ditekankannya, pengelolaan sektor migas oleh BUMD bukanlah pemberian tapi memang daerah punya hak untuk mengelolanya. ”Ini (pengelolaan) sumur minyak bukan “charity” (derma), tapi hak daerah untuk mendapatkannya,” kata Alex yang juga mantan Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan itu.

Dengan pengelolaan oleh daerah, kata dia, maka hasil usaha tersebut akan masuk ke kas daerah. Berarti, pendapatan daerah akan meningkat sehingga yang untung masyarakat kita. ”Coba kalo semuanya dikasih asing, keuntungannya akan masuk ke mereka (asing). Kan yang berjalan selama ini begitu,” kata dia.

Ketika ditanya apakah daerah benar-benar siap baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), teknologi hingga pendanaannya, dia pun menjawab singkat bahwa itu bukan masalah.

Dijelaskannya, SDM yang dimiliki Indonesia di bidang perminyakan sangat banyak dan profesional, juga teknologi, telah mampu dikuasainya. Sementara soal dana sudah banyak pihak yang bersedia untuk mendukung kegiatan tersebut.

Ia mencontohkan, Petro Muba – BUMD di Kabupaten Musi Banyuasin - secara SDM, teknologi maupun pendanaannya sudah siap dan dalam waktu dekat ini ada sejumlah sumur tua yang akan dikelolanya.
Dijelaskannya, terdapat sekitar 400 sumur tua di wilayah Musi Banyuasin yang antara lain dimiliki oleh Pertamina dan ConocoPhilips. sumur-sumur tersebut kalau dikelola dengan baik berpotensi menghasilkan sekitar 1.000 barel per hari. ”Ini cukup besar dan tentunya berpotensi meningkatkan pendapatan daerah,” ungkapnya.

Dari data yang ada di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi sebanyak 5.000 dari 13.824 sumur minyak tua yang tersebar di Indonesia akan diaktifkan kembali untuk diproduksi. Diperkirakan 5.000-12.000 barel per hari (bph) dapat dihasilkan dari pengaktifan tersebut.

Sumur-sumur tua ini, bila bisa dioptimalisasi maka memiliki potensi menghasilkan minyak yang cukup baik. Dari 13.824 sumur tua, 745 di antaranya aktif, sedangkan 13.079 tidak aktif. Sumur-sumur tua tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Antara lain, 3.623 di Sumatera bagian selatan, 3.134 di Kalimantan Timur, 2.496 di Jawa Tengah, Timur, dan Madura, 2.392 di Sumatera bagian utara, dan 208 di Papua.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009


DBH Sering Terlambat




ADA satu hal yang menjadi keluhan pihak FKDPM. Pemerintah pusat kerap terlambat mencairkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang menjadi hak daerah penghasil migas tersebut, terkadang tanpa penjelasan yang memadai. Padahal, Depkeu sudah berjanji untuk tidak lagi terlambat membayar dana itu. Alhasil, pembangunan di daerahpun menjadi tersendat-sendat dan tidak sesuai rencana.

Ketua FKDPM yang juga Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin, mengeluhkan hal ini pada berbagai kesempatan. Kata Alex, FKDPM bakal mengadukan kinerja Depkeu yang masih telat itu kepada DPR. Ia menilai Depkeu ingkar janji.

Keterlambatan pembayaran DBH itu mencapai tiga bulan. DBH harusnya disetor dari kas negara ke daerah tiap tiga bulan sekali. '”Dulu pusat janji tidak terlambat lagi, tapi nyatanya keterlambatan ini sangat parah, tiga bulan terlambatnya, ini sangat mengganggu daerah,” keluh Noerdin.

Keterlambatan DBH dinilai membuat pembangunan di daerah tidak berjalan lancar. Dana yang harusnya bisa dialokasikan untuk triwulan I, misalnya, baru dibayarkan pada triwulan II dan begitu juga bila dana itu digunakan untuk triwulan II, baru diberikan di triwulan III. Keterlambatan DBH juga diklaim mengganggu APBD.

”Ini sangat mengganggu daerah untuk pembangunan, arus kas daerah terganggu apalagi saat ini lifting (minyak) turun dan penerimaan (migas) turun,” sambung dia.

Berdasarkan aturannya di UU Nomor 33 tahun 2004, DBH minyak bumi setelah dikurangi komponen pajak adalah 84,5 persen untuk pusat dan sisanya 15,5 persen untuk daerah. Untuk daerah ini terbagi lagi atas tiga persen untuk provinsi yang bersangkutan, enam persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan enam persen untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

Selain itu, masih ada tambahan 0,5 persen yang dipecah lagi dalam 0,1 persen untuk provinsi, 0,2 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 0,2 persen untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Dana ini digunakan untuk membiayai pendidikan.

Prosedur penghitungan DBM migas dilakukan secara triwulanan dengan memperhitungkan realisasi lifting, realisasi ICP, perkiraan biaya, realisasi reimbursement PPN sebagai faktor pengurang dan perkiraan PBB migas, pajak daerah, dan retribusi daerah sebagai faktor pengurang.

Selain sering telat, masalah lain terkait DBH, menurut Alex, adalah transparansi cost recovery, daerah penghasil migas dianggap sebagai dareah kaya sehingga alokasi Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khususnya pas-pasan.

Sementara itu, kepada Eksplo, Direktur Eksekutif FKDPM Muliana Sukardi mengatakan bahwa ada masalah lain yang juga patut diperhatikan. Dia mengusulkan perlunya perusahaan-perusahaan asing yang bergerak di sektor migas menyimpan uangnya di perbankan nasional. Menurut dia, BP Migas perlu mengeluarkan aturan tersebut sehingga ada manfaat yang bisa dipetik yaitu meningkatkan laju perekonomian negara.

”Sebisa mungkin dan sebanyak-banyaknya perusahaan-perusahaan asing itu dalam melakukan transaksi di dalam negeri menggunakan mata uang rupiah. Dan melalui perbankan nasional, bukan asing seperti yang terjadi saat ini. Ini akan memberi manfaat pada nilai rupiah yang perlahan-lahan akan menguat,” kata Muliana.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar