BPPT berhasil mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang mobile dan efisien. Diproyeksikan PLTP mini ini bisa dimanfaatkan untuk memenuhi tenaga listrik daerah terpencil dengan kebutuhan listrik di bawah 10 MW. Lebih ekonomis dan siap menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel. Penghematan BBM-nya mencapai Rp 1,1 trilyun per tahun.
PLTP mini milik BPPT itu telah berhasil diuji coba di lokasi sumur injeksi panas bumi Wayang Windu, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu. Penerapan teknologi ini berpotensi menggantikan ratusan generator diesel berbahan bakar solar yang ditempatkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di berbagai daerah terisolasi di Tanah Air.
Kapasitas generator diesel yang bisa digantikan oleh PLTP mini tersebut dari hasil uji coba mencapai 300 juta watt. ”Jika menggunakan bahan bakar solar, harganya sangat mahal. Jika menggunakan PLTP mini ini, jauh lebih murah dan ramah lingkungan,” kata Kepala Proyek PLTP Binary Cycle BPPT Taufan Suryana kepada Eksplo yang menemuinya di kantornya, awal Juli lalu.
Menurut Taufan, hasil uji coba ini akan disampaikan kepada pemerintah agar menjadi pertimbangan perubahan kebijakan program Desa Mandiri Energi dengan mengoptimalkan potensi energi lokal panas bumi. Sebab, pemanfaatan panas bumi hingga kini masih terlampau rendah, baru mencapai 1.056 megawatt (MW) atau hanya empat persen dari potensi yang ada sebesar 27.000 MW.
Peneliti BPPT bidang konversi dan sistem energi itu menambahkan, nilai keekonomisan memproduksi listrik dengan PLTP mini jauh lebih rendah dari pembangkit listrik tenaga diesel berbahan bakar solar. Biaya produksi listrik dari PLTP ini berkisar Rp 800 per kilowattjam (kWh), sedangkan dengan generator solar mencapai Rp 2.000 per kWh. PLTP mini berkekuatan 2.000 watt yang masih berbentuk prototipe itu diuji coba selama sepekan di lokasi, dan berhasil bekerja dengan baik.
Taufan mengatakan bahwa pembangkit tersebut nantinya akan disempurnakan lagi sehingga bisa memenuhi harapan berbagai pihak. Semua komponen PLTP mini berukuran 2x2 meter tersebut merupakan kreasi ahli-ahli BPPT. ”Komponen utamanya kami bikin sendiri. Kami berharap apa yang kami lakukan ini akan menginspirasi pemerintah, khususnya Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memenuhi listrik daerah terpencil,” ujarnya.
Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan daerah terpencil paling sedikit dibutuhkan pembangkit dengan daya antara 2 – 5 MW. Bandingkan hal ini dengan PLTP skala besar yang skala ekonomis tercapai bila bisa menghasilkan daya lebih dari 110 MW. ”Karena itulah kita sebut PLTP mini karena meski daya listrik yang dihasilkan kecil, tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Khususnya di kawasan terpencil,” kata dia.
Saat uji coba dilakukan akhir 2008 lalu, PLTP mini BPPT berkapasitas produksi listrik 2.000 watt itu menggunakan air panas bumi daur ulang. Air panas itu merupakan hasil penggunaan panas bumi yang digunakan sebelumnya untuk PLTP Wayang Windu, berkapasitas besar mencapai 110 juta watt atau 110 MW. PLTP Wayang Windu sendiri pada Maret 2009 telah ditingkatkan kapasitasnya menjadi 220 MW.
Koordinator Lapangan Uji Coba PLTP Mini BPPT, Suyanto, mengatakan, teknologi pemanfaatan kembali panas bumi yang disebut siklus biner ini menggunakan air panas bumi dengan suhu rendah 110 derajat celsius. Semula air panas bumi ini langsung diinjeksikan kembali ke dalam tanah melalui sumur dengan kedalaman sampai 1.500 meter.
”Dari total buangan air panas bumi yang akan diinjeksikan kembali ke dalam tanah mencapai 270 ton per jam, ini berpotensi menghasilkan kembali 8-10 megawatt listrik. Tentu generator yang dibuat harus lebih besar dari prototipe ini,” kata Suyanto.
Peluang untuk membangun PLTP di daerah, kata Taufan lagi, cukup terbuka. Indonesia sangat kaya dengan energi panas bumi sebagai sumber daya alam. Dia menunjuk beberapa provinsi seperti NTB, NTT, Maluku dan Sulawesi Tengah sebagai daerah yang paling siap memanfaatkan teknologi tersebut. ”Masa penggunaan teknologi PLTP mini bisa mencapai 25 tahun,” katanya.
Total energi panas bumi di Indonesia saat ini adalah 27ribu MW atau 40 persen dari potensi panas bumi dunia. Hanya saja, sumber panas bumi itu tidak semuanya memenuhi syarat untuk PLTP konvensional atau skala besar yang dayanya mencapai 110 MW tadi. Sebab, pembangkit skala besar membutuhkan suhu 240 derajat celcius. Ternyata untuk PLTP mini, suhu rendah tidak menjadi masalah.
PLTP mini benar-benar menjadi solusi praktis untuk pengembangan panas bumi di Indonesia, sebab cukup banyak sumber panas bumi yang suhunya kurang dari 240 derajat celcius. Bahkan, sebagaimana yang dilakukan pada uji coba PLTP mini tadi, air buangan dari PLTP besar yang suhunya masih sekitar 180 derajat celcius masih bisa digunakan PLTP mini. Karenanya PLTP mini itu menggunakan teknologi binary cycle.
Selain itu karena ukurannya yang kecil, PLTP mini ini juga bersifat mobile, sehingga bisa dipasang di manapun. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang mahal dan boros itu bisa digantikan dengan PLTP mini. ”Jika tujuannya menggantikan PLTD maka PLTP ini amat ekonomis,” kata Taufan. Alasannya, harga listrik dari pembangkit diesel adalah Rp 2.500,- hingga Rp 3.000,- per kwH. Sedangkan dari pembangkit mini panas bumi paling mahal Rp 1.000,-.
Menurut Taufan, prinsip kerja PLTP skala besar adalah : sumur produksi menghasilkan uap dan air panas yang dikirimkan ke separator. Separator berfungsi memisahkan fluida air panas dan fluida uap. Dari separator, uap dialirkan untuk memutar turbin, sedangkan air panas diinjeksikan ke dalam bumi. Nah, panas yang masih cukup tingi itu – berupa air dan uap – mengalir ke evaporator. ”Fungsinya menguapkan hidrokarbon yang akan masuk ke turbin,” kata Taufan.
Uap hidrokarbon itu untuk menggerakkan turbin. Selesai bekerja, uap hidrokarbon pemutar turbin diembunkan dengan kondensor. ”Di situ ada air pendinginnya,” katanya.
Hidrokarbon yang telah mencair dipompa ke evaporator. Terpanaskan lagi menjadi uap untuk menggerakkan turbin. Proses ini terus berulang. Itulah yang disebut binary cycle (siklus biner). Namun, kalau misalnya tidak ada buangan dari PLTP besar, maka PLTP mini bisa langsung menggunakan sumur kecil. ”Jika suhu yang keluar dari sumur geothermal itu 100 derajat saja, maka itu sudah bisa digunakan,” katanya.
Satu hal lagi yang menarik, PLTP mini ini juga tidak butuh sumur geothermal yang dalam sebagaimana PLTP skala besar. Jika PLTP skala besar butuh mengebor sumur hingga kedalaman 2.500 meter, maka PLTP mini cukup 500 meter saja. Pengeboran sumur inilah salah satu persoalan besar bagi pembangunan PLTP skala besar karena biayanya sangat mahal. Bayangkan potensi penghematan yang bisa diwujudkan bila PLTP mini dan mobile ini dikembangkan di tanah air.
Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 27 Tahun 2009
Siapkan PLTP Mini 100ribu Watt
SUKSES dengan uji coba protipe PLTP mini dengan daya 2.000 watt membuat Taufan dan kawan-kawan di BPPT bertekad mewujudkan PLTP mini dengan daya yang lebih besar, yaitu dengan daya 100ribu Watt. Ini merupakan langkah antara sebelum pada akhirnya membuat PLTP mini dengan daya 1 MW. Bila pembangkit 1 MW ini terealisir, maka impian untuk menggantikan PLTD berbahan bakar solar akan terwujud.
Biaya pembuatannya memang agak mahal bila dibandingkan dengan PLTP skala besar. Bila PLTP skala besar menghabiskan biaya US$1,8 juta-US$2 juta per MW, maka untuk PLTP mini, dibutuhkan dana sebesar US$2 juta-US$3 juta per MW. Karena itu, untuk membangun PLTP mini dibutuhkan investor yang berani berkorban. Tetapi bila sudah berjalan, PLTP tetap saja menjadi peluang yang menguntungkan.
Penerapan teknologi PLTP mini memang berbeda dengan PLTP skala besar. Perbedaan utama adalah pada suhu yang dibutuhkan untuk memutar turbin pada pembangkit listrik. PLTP mini karena menggunakan tenaga panas bumi dengan suhu rendah maka hanya bisa memproduksi listrik dengan kapasitas kecil, berkisar 2-5 megawatt. Pemanfaatan energinya berbeda dengan panas bumi temperatur tinggi (sekitar 250 derajat Celsius).
Pada temperatur tinggi, panas bumi dapat menghasilkan uap yang langsung menggerakkan turbin pada generator. Ketika temperaturnya rendah, panas bumi yang ada digunakan untuk mempengaruhi fluida, biasanya berupa amonia ditambah air dan normal pentana. Fluida itu mudah menguap akibat temperatur relatif rendah sehingga kinerjanya dipakai untuk menggerakkan turbin listrik.
Yang menarik adalah kemungkinan menggunakan uap lumpur panas yang ada pada genangan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Lumpur panas yang muncul di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas dengan suhu berkisar 60 derajat Celsius itu semestinya juga memungkinkan untuk bisa digunakan bagi prototipe PLTP mini dari BPPT tersebut. Bila itu terwujud maka jelas ini merupakan terobosan besar.
Bila pemerintah serius mengadopsi teknologi ini, maka ada dua perusahaan yang mampu menjadi mitra strategis dalam mengembangkan PLTP mini tersebut yaitu PT Pindad dan PT Nusantara Turbin Propulsi (NTP), anak perusahaan PT Dirgantara Indonesia. Pihak NTP sendiri pada satu kesempatan pernah menyatakan kesanggupan mereka memproduksi pembangkit dengan daya 3-5 megawatt.
Memang, teknologi yang diuji coba di Wayang Windu masih sederhana. Hanya saja, dengan kerjasama semua pihak, termasuk juga dalam soal pendanaan maka ke depan nanti, industri dalam negeri bisa mengembangkannya lebih jauh. Apalagi komponen utama untuk PLTP mini tersebut bisa diproduksi sendiri. Karena itu, risetnya harus terus dikembangkan dan ditunjang dengan kebijakan pemerintah.
Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 27 Tahun 2009