Jumat, Desember 25, 2009

Humor Madihin Orang Banjar

Seni tradisi Madihin di kalangan orang Banjar mampu terus bertahan dan memiliki penggemar fanatik di kawasan Kalimantan bagian Selatan dan Timur.

IWAN SAMARIANSYAH

…balimbing matang diulah pancuk, anak saluang cucukiakan, para penonton nang datang silahkan masuk, kursi nang puang dudukiakan …”

Begitulah pantun khas pembukaan sebuah pentas madihin yang sempat saya datangi di sebuah perhelatan pernikahan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Memakai bahasa Banjar dan dengan syair yang mendakik-dakik, penuh humor dan sindiran, itulah dia madihin, seni sastra lisan masyarakat Banjar yang begitu populer di Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur.

Pada awalnya saya tak begitu tertarik dengan kesenian madihin. Selain tak pernah mengenalnya sebagai satu seni tradisional yang punya penggemar begitu banyak, saya juga tak bergaul akrab dengan komunitas suku Banjar asal Kalimantan Selatan yang menggemari madihin ini. Barulah setelah adik kandung saya menikah dengan keluarga asal Banjar, Desember 2008 lalu, terusiklah rasa ingin tahu saya.

Madihin memang banyak ditampilkan pada acara-acara keluarga orang Banjar mulai dari pernikahan, kelahiran anak, hingga acara sunatan anak lelaki orang Banjar. Madihin juga dihadirkan ketika orang hendak berangkat ke tanah suci Makkah untuk berhaji atau perayaan nasional seperti peringatan HUT Proklamasi atau Dies Natalis. Iramanya rancak, riang dan syair-syairnya jenaka penuh humor.

Saya terpesona mendengar para pemadihin bersenandung. Begitu spontan dan lugas. Sindir sana-sini dan nuansa humornya begitu kental. Tak ayal lagi, para pendengarnya pastilah tertawa, setidaknya tersenyum saat pemadihin melontarkan bait-bait syair madihin yang khas itu. Tak heran bila pemadihin banyak dicari orang yang tujuannya untuk menghidupkan suasana perayaan, khususnya di daerah Banjar.

Dari sumber-sumber kepustakaan, saya memperoleh keterangan yang menarik soal asal-muasal istilah madihin. Versi pertama menyebutkan bahwa asal kata Madihin dari kata madah, sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia karena menyanyikan syair-syair yang berasal dari kalimat akhir yang bersamaan bunyinya. Madah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah kalimat puji-pujian. Bisa jadi karena memang banyak syair-syair madihin yang berisi puji-pujian.

”Seni madihin memiliki kemiripan dengan kesenian lamut atau mamanda, bedanya terdapat pada cara penyampaian syairnya. Kalau mamanda, syairnya berupa cerita atau dongeng rakyat yang mengarah pada seni teater dilengkapi dengan pemain dan tokoh cerita. Sedang lirik syair pada madihin seringkali spontan oleh pemadihinnya dan lebih mengandung humor segar yang menghibur,” ujar Dina Indriyati, salah satu aktivis kesenian di Banjar Baru, Kalimantan Selatan kepada saya.

Meski begitu, ada pula pendapat lain yang berkembang. Madihin disebut-sebut berasal dari bahasa Banjar yaitu papadahan atau mamadahi (memberi nasihat), pendapat ini juga bisa dibenarkan karena isi dari syairnya memang banyak berisi nasihat. Tak heran, pemadihin banyak dikontrak dalam berbagai acara pernikahan. Tugasnya memberi nasihat perkawinan untuk sang pengantin, tentu saja.

Darimanakah asal muasal kesenian madihin tersebut ? Sirajul Huda, mantan Kepala Taman Budaya Kalimantan Selatan dan sesepuh para seniman madihin kepada saya mengatakan bahwa asal muasal kesenian madihin sulit ditegaskan. ”Ada yang berpendapat dari kampung Tawia, Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Dari Kampung Tawia inilah kemudian menyebar kemana-mana,” ujarnya.

Dan memang pemain madihin atau pamadihin yang terkenal itu umumnya berasal dari kampung Tawia. Namun, sebagian Sirajul mengakui bahwa ada pula yang mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari Malaka (salah satu daerah di Malaysia, red). Alasannya, ada pengaruh kuat syair dan gendang tradisional dari tanah semenanjung Malaka yang sering dipakai dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.

Namun, yang jelas madihin hanya mengenal bahasa Banjar dalam semua syairnya. Dan hanya populer di komunitas orang Banjar. Artinya, orang yang memulainya tentulah orang-orang dari suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, sehingga bisa dilogikakan bahwa madihin berasal dari Kalimantan Selatan. Diperkirakan madihin telah ada semenjak Islam menyebar di Kerajaan Banjar, dan dipengaruhi kasidah.

Menurut Sirajul, pada abad lalu, fungsi utama madihin adalah untuk menghibur raja atau pejabat istana. Dan karena itulah isi syair yang dibawakan kebanyakan berisi puji-pujian kepada kerajaan. Selanjutnya setelah pengaruh kerajaan meredup, madihin lantas berkembang dan berubah fungsi menjadi hiburan rakyat di waktu-waktu tertentu, misalnya pengisi hiburan sehabis panen, acara pernikahan dan perayaan lainnya.

Dari sisi bentuk, kesenian madihin umumnya digelar pada malam hari, dengan lama pergelaran biasanya lebih kurang 1 - 2 jam sesuai permintaan. Dahulu pementasannya banyak dilakukan di lapangan terbuka agar menampung cukup banyak penonton, namun seiring dengan perkembangan jaman, saat ini pementasan madihin lebih sering digelarkan di dalam gedung tertutup. Pemadihin bisa secara kelompok atau tunggal.

Yang menarik, bila dibawakan kelompok, biasanya madihin dilakukan oleh 2 - 4 pemain yang saling bersaing. Dan sungguh unik. Mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan syair, saling bertanya jawab, saling serang, saling sindir, dan saling kalah mengalahkan melalui syair yang mereka lontarkan. Jadi seolah-olah antara pasangan yang satu dan pasangan yang lain melakukan jual-beli syair.

Duel madihin seperti ini disebut baadu kaharatan (adu kehebatan). Kelompok atau pemadihinan yang terlambat atau tidak bisa membalas syair dari lawannya akan dinyatakan kalah. Sayangnya, menurut para pamadihin sendiri, pentas duel madihin seperti ini sudah jarang sekali diadakan. ”Kebanyakan sekarang ya pentas berpasangan saja, jarang sekali ada undangan untuk baadu kaharatan,” kata salah seorang seniman.

Jika dimainkan hanya oleh satu orang maka pemadihin tersebut tentu harus bisa mengatur rampak terbang dan suara yang akan ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian syair. Pemadihinan secara tunggal layaknya seorang orator, maka dia harus pandai menarik perhatian penonton dengan humor segar serta pukulan tarbang yang memukau dengan irama yang cantik.

Struktur pegelaran kesenian madihin umumnya sudah baku. Urutan-urutannya selalu dimulai dari pembukaan, dilanjutkan dengan memasang tabi baru kemudian materi madihin dimulai, yang kemudian diakhiri dengan berpamitan kepada para penonton. Itu pula yang sempat saya saksikan saat saya berkunjung ke Kalimantan Selatan tempo hari dan menyaksikan salah satu pentas madihin.

Pembukaan dilakukan dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang diawali pukulan tarbang disebut pukulan pembuka. Sampiran pantun ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang akan dibawakan nantinya. Sedangkan memasang tabi yaitu membawakan syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, ucapan terima kasih dan memohon maaf apabila ada kekeliruan dalam pergelaran nantinya.


Materi atau isi madihin (manguran) baru dimulai setelah tabi disampaikan. Ini semua untuk menunjukkan kerendahan hati. Isi madihin yang disampaikan syair-syairnya haruslah selaras dengan tema pergelaran atau sesuai yang diminta tuan rumah. Untuk itu, sebelum sampai ke pokok acara, disampaikan terlebih dahulu sampiran pembukaan syair kepada penonton (mamacah bunga).

Dan akhirnya, setelah 1-2 jam pamadihin kemundian menyampaikan penutup. Dia lantas menyimpulkan apa maksud syair yang disampaikannya seraya menghormati penonton memohon pamit ditutup dengan pantun penutup. Dan penggemarpun bertepuk tangan meriah sembari membubarkan diri. Mulai dari pemadihin di pelosok-pelosok desa hingga yang seterkenal John Tralala dan anaknya Hendra selalu bermadihin dengan cara itu.

Sebagai bentuk seni sastra lisan yang dipentaskan, maka bila dicermati madihin dari Banjar, Kalimantan Selatan ini mirip dengan bakaba atau saluang dari masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat), atau Sinrilik dari Makasar (Sulawesi Selatan). Pada beberapa segi bahkan pentas Madihin yang saya saksikan sedikit banyak mirip dengan marawis pada masyarakat Betawi di pinggiran kota Jakarta.

Jika isi cerita berasal dari bentuk pantun, syair, puisi ataupun prosa pada saluang dilagukan dengan diiringi instrumen sejenis yaitu suling, dan pada sinrilik dengan instrumen berupa rebab (keso-keso), maka pada madihin instrumen yang digunakan sebagai pengiring cerita yang dilagukan adalah instrumen perkusi berupa terbang (sejenis gendang rebana, namun berukuran lebih besar dan berat).

Instrumen yang digunakan pada kesenian madihin ini memang dibuat khusus untuk membawakan madihin (bamadihin), sehingga mempunyai bentuk, cara penggunaan, dan mengeluarkan bunyi agak berbeda dari terbang yang biasa digunakan di dalam kesenian rebana, hadrah maupun sinoman yang juga kesemuanya dikenal sebagai seni tradisi dengan pengaruh Islam yang kuat.

Nanang, salah satu seniman madihin yang sempat saya temui memperlihatkan terbang madihin. Menurut dia, terbang madihin itu dibuat dari bahan-bahan seperti kayu nangka, jingah atau rajawali untuk badan terbang (kerongkong); kulit kambing untuk selaput (membrane) sumber bunyi bila ditabuh; pasak dari kayu atau bambu; rotan dan latung (belatung), atau bisa juga dari lempengan tembaga atau jenis metal lainnya untuk penguat dan mengencangkan kulit selaput terbang.

Ukuran garis tengah lingkaran pada permukaan terbang yang ditutupi kulit sekitar 35 sampai 45 cm, sedangkan garis tengah lingkaran bagian belakang (bawah) lebih kecil, dan tinggi badan terbang sekitar 27 cm. Ketebalan rata-rata kerangka badan (kerongkong) terbang sekitar tidak lebih dari dua sentimeter. Spesifikasi terbang semacam ini cukup berat bila hendak dimainkan secara berdiri sebagaimana pada rabana atau hadrah.

Karena itulah untuk memainkan atau menggunakan instrumen ini haruslah dilakukan dengan cara dipangku oleh si seniman (pamadihin). Barangkali karena beratnya itu dan juga besarnya, Sirajul mengatakan, untuk paling tidak pada masanya dahulu, ”bila perempuan yang bermadihin maka biasanya tidak menggunakan terbang”.

Instrumen pada seni madihin memang relatif sangat sederhana, begitu pun perlengkapan maupun aksesoris lainnya pada saat madihin dipentaskan. Kekuatan seni ini sesungguhnya terletak pada kemampuan senimannya dalam mengekspresikan fenomena sehari-hari yang disesuaikan dengan acara atau situasi pada saat dipentaskan. Pakaian yang digunakan pamadihin biasanya pakaian daerah adat Banjar, dan ini pun bukan sebagai suatu keharusan.

Kesederhanaan seni ini juga tampak pada saat penampilannya yang tidak perlu banyak gerak. Gerakan hanya seperlunya dan gerakan lebih banyak karena proses menabuh terbang. Pamadihin cukup duduk di kursi, atau bahkan di lantai, dengan posisi memangku terbang kemudian melantunkan cerita yang telah dipersiapkan secara garis besarnya dengan diiringi suara tabuhan terbang yang dia lakukan sendiri.

Popularitas pamadihin John Tralala dan Hendra puteranya memang sebuah fenomena yang menarik. Dia beberapa kali juga pentas di TVRI dan beberapa stasiun TV swasta nasional. Dia tetap mempertahankan gaya dan bahasa Banjar yang khas itu dan merupakan contoh yang positif bagi perkembangan kesenian daerah. Penampilannya nampak tetap memikat penonton.

Kesuksesan dan popularitas John Tralala sebagai seniman madihin, boleh dikatakan sungguh menarik perhatian. Bahkan salah satu partai politik secara cerdik kemudian menjadikanya sebagai salah satu calon legislatif pada Pemilu 2009 ini. Kehadiran John Tralala dan Hendra memang ibarat jaminan mutu bagi suatu pentas madihin di tanah Banjar. Orang bahkan rela membayar untuk menyaksikan penampilannya.

Selain John Tralala, tentu saja cukup banyak seniman pemadihin yang terus bekiprah di daerah ini. Ini dikarenakan cukup banyaknya festival festival madihin yang relatif rutin diselenggarakan baik untuk umum, mahasiswa, maupun remaja atau pelajar oleh berbagai organisasi. Di masa depan, madihin tak akan kekurangan kader, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

…… kahada lagi kita malalakun akan, jadi bamandak ka‘ai kita batahan, ayu kita cuba batahan, ibarat motor masuk nang ka taksian, kapal udara turun di medan, bila kapal di laut ka‘ai di palabuhan, iabrat sapida dikacak rim kanan, lihat di subalah nang laki binian, sidin ka‘ai pina u‘ungutan, nang apa lagi dipikirakan, nang kaya punai sadang ka kayangan, jadi bamandak kita ka‘ai batahan, balajur tarbang disarahakan, sadang bamandak dahulu baahan ……..

Begitulah syair seorang pamadihin saat sang seniman mengakhiri pagelarannya, disambut gegap gempita tepuk tangan dan suitan para penggemarnya.

3 komentar:

  1. belimbing masak dibuat rujak, anak ikan "saluang" ditusuk, para penonton dipersilakan masuk, duduklah di kursi yang kosong.... begitulah makna pantun yang dibacakan oleh om Jon Tralala....

    BalasHapus
  2. saya sangat senang madihin...bahasanya kocak dan menghibur hati....Sekalian belajar bahasa banjar he...ada dangsanak yang punya album madihin...saya ingin mengkoleksinya....trims...salam kulaan sabarataan

    BalasHapus
  3. Ada yg bsa mmbuatkn saya madihin ttng pndidikn?

    BalasHapus