IWAN SAMARIANSYAH
”
Begitulah pantun khas pembukaan sebuah pentas madihin yang sempat saya datangi di sebuah perhelatan pernikahan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Memakai bahasa Banjar dan dengan syair yang mendakik-dakik, penuh humor dan sindiran, itulah dia madihin, seni sastra lisan masyarakat Banjar yang begitu populer di Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur.
Pada awalnya saya tak begitu tertarik dengan kesenian madihin. Selain tak pernah mengenalnya sebagai satu seni tradisional yang punya penggemar begitu banyak, saya juga tak bergaul akrab dengan komunitas suku Banjar asal Kalimantan Selatan yang menggemari madihin ini. Barulah setelah adik kandung saya menikah dengan keluarga asal Banjar, Desember 2008 lalu, terusiklah rasa ingin tahu saya.
Madihin memang banyak ditampilkan pada acara-acara keluarga orang Banjar mulai dari pernikahan, kelahiran anak, hingga acara sunatan anak lelaki orang Banjar. Madihin juga dihadirkan ketika orang hendak berangkat ke tanah suci Makkah untuk berhaji atau perayaan nasional seperti peringatan HUT Proklamasi atau Dies Natalis. Iramanya rancak, riang dan syair-syairnya jenaka penuh humor.
Saya terpesona mendengar para pemadihin bersenandung. Begitu spontan dan lugas. Sindir sana-sini dan nuansa humornya begitu kental. Tak ayal lagi, para pendengarnya pastilah tertawa, setidaknya tersenyum saat pemadihin melontarkan bait-bait syair madihin yang khas itu. Tak heran bila pemadihin banyak dicari orang yang tujuannya untuk menghidupkan suasana perayaan, khususnya di daerah Banjar.
Dari sumber-sumber kepustakaan, saya memperoleh keterangan yang menarik soal asal-muasal istilah madihin. Versi pertama menyebutkan bahwa asal kata Madihin dari kata madah, sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia karena menyanyikan syair-syair yang berasal dari kalimat akhir yang bersamaan bunyinya. Madah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah kalimat puji-pujian. Bisa jadi karena memang banyak syair-syair madihin yang berisi puji-pujian.
”Seni madihin memiliki kemiripan dengan kesenian lamut atau mamanda, bedanya terdapat pada cara penyampaian syairnya. Kalau mamanda, syairnya berupa cerita atau dongeng rakyat yang mengarah pada seni teater dilengkapi dengan pemain dan tokoh cerita. Sedang lirik syair pada madihin seringkali spontan oleh pemadihinnya dan lebih mengandung humor segar yang menghibur,” ujar Dina Indriyati, salah satu aktivis kesenian di Banjar Baru, Kalimantan Selatan kepada saya.
Meski begitu, ada pula pendapat lain yang berkembang. Madihin disebut-sebut berasal dari bahasa Banjar yaitu papadahan atau mamadahi (memberi nasihat), pendapat ini juga bisa dibenarkan karena isi dari syairnya memang banyak berisi nasihat. Tak heran, pemadihin banyak dikontrak dalam berbagai acara pernikahan. Tugasnya memberi nasihat perkawinan untuk sang pengantin, tentu saja.
Darimanakah asal muasal kesenian madihin tersebut ? Sirajul Huda, mantan Kepala Taman Budaya Kalimantan Selatan dan sesepuh para seniman madihin kepada saya mengatakan bahwa asal muasal kesenian madihin sulit ditegaskan. ”
Dan memang pemain madihin atau pamadihin yang terkenal itu umumnya berasal dari kampung Tawia. Namun, sebagian Sirajul mengakui bahwa ada pula yang mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari Malaka (salah satu daerah di
Namun, yang jelas madihin hanya mengenal bahasa Banjar dalam semua syairnya. Dan hanya populer di komunitas orang Banjar. Artinya, orang yang memulainya tentulah orang-orang dari suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, sehingga bisa dilogikakan bahwa madihin berasal dari Kalimantan Selatan. Diperkirakan madihin telah ada semenjak Islam menyebar di Kerajaan Banjar, dan dipengaruhi kasidah.
Menurut Sirajul, pada abad lalu, fungsi utama madihin adalah untuk menghibur raja atau pejabat istana. Dan karena itulah isi syair yang dibawakan kebanyakan berisi puji-pujian kepada kerajaan. Selanjutnya setelah pengaruh kerajaan meredup, madihin lantas berkembang dan berubah fungsi menjadi hiburan rakyat di waktu-waktu tertentu, misalnya pengisi hiburan sehabis panen, acara pernikahan dan perayaan lainnya.
Dari sisi bentuk, kesenian madihin umumnya digelar pada malam hari, dengan lama pergelaran biasanya lebih kurang 1 - 2 jam sesuai permintaan. Dahulu pementasannya banyak dilakukan di lapangan terbuka agar menampung cukup banyak penonton, namun seiring dengan perkembangan jaman, saat ini pementasan madihin lebih sering digelarkan di dalam gedung tertutup. Pemadihin bisa secara kelompok atau tunggal.
Yang menarik, bila dibawakan kelompok, biasanya madihin dilakukan oleh 2 - 4 pemain yang saling bersaing. Dan sungguh unik. Mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan syair, saling bertanya jawab, saling serang, saling sindir, dan saling kalah mengalahkan melalui syair yang mereka lontarkan. Jadi seolah-olah antara pasangan yang satu dan pasangan yang lain melakukan jual-beli syair.
Duel madihin seperti ini disebut baadu kaharatan (adu kehebatan). Kelompok atau pemadihinan yang terlambat atau tidak bisa membalas syair dari lawannya akan dinyatakan kalah. Sayangnya, menurut para pamadihin sendiri, pentas duel madihin seperti ini sudah jarang sekali diadakan. ”Kebanyakan sekarang ya pentas berpasangan saja, jarang sekali ada undangan untuk baadu kaharatan,” kata salah seorang seniman.
Jika dimainkan hanya oleh satu orang maka pemadihin tersebut tentu harus bisa mengatur rampak terbang dan suara yang akan ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian syair. Pemadihinan secara tunggal layaknya seorang orator, maka dia harus pandai menarik perhatian penonton dengan humor segar serta pukulan tarbang yang memukau dengan irama yang cantik.
Struktur pegelaran kesenian madihin umumnya sudah baku. Urutan-urutannya selalu dimulai dari pembukaan, dilanjutkan dengan memasang tabi baru kemudian materi madihin dimulai, yang kemudian diakhiri dengan berpamitan kepada para penonton. Itu pula yang sempat saya saksikan saat saya berkunjung ke Kalimantan Selatan tempo hari dan menyaksikan salah satu pentas madihin.
Pembukaan dilakukan dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang diawali pukulan tarbang disebut pukulan pembuka. Sampiran pantun ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang akan dibawakan nantinya. Sedangkan memasang tabi yaitu membawakan syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, ucapan terima kasih dan memohon maaf apabila ada kekeliruan dalam pergelaran nantinya.
Materi atau isi madihin (manguran) baru dimulai setelah tabi disampaikan. Ini semua untuk menunjukkan kerendahan hati. Isi madihin yang disampaikan syair-syairnya haruslah selaras dengan tema pergelaran atau sesuai yang diminta tuan rumah. Untuk itu, sebelum sampai ke pokok acara, disampaikan terlebih dahulu sampiran pembukaan syair kepada penonton (mamacah bunga).
Dan akhirnya, setelah 1-2 jam pamadihin kemundian menyampaikan penutup. Dia lantas menyimpulkan apa maksud syair yang disampaikannya seraya menghormati penonton memohon pamit ditutup dengan pantun penutup. Dan penggemarpun bertepuk tangan meriah sembari membubarkan diri. Mulai dari pemadihin di pelosok-pelosok desa hingga yang seterkenal John Tralala dan anaknya Hendra selalu bermadihin dengan cara itu.
Sebagai bentuk seni sastra lisan yang dipentaskan, maka bila dicermati madihin dari Banjar, Kalimantan Selatan ini mirip dengan bakaba atau saluang dari masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat), atau Sinrilik dari Makasar (Sulawesi Selatan). Pada beberapa segi bahkan pentas Madihin yang saya saksikan sedikit banyak mirip dengan marawis pada masyarakat Betawi di pinggiran kota Jakarta.
Popularitas pamadihin John Tralala dan Hendra puteranya memang sebuah fenomena yang menarik. Dia beberapa kali juga pentas di TVRI dan beberapa stasiun TV swasta nasional. Dia tetap mempertahankan gaya dan bahasa Banjar yang khas itu dan merupakan contoh yang positif bagi perkembangan kesenian daerah. Penampilannya nampak tetap memikat penonton.
belimbing masak dibuat rujak, anak ikan "saluang" ditusuk, para penonton dipersilakan masuk, duduklah di kursi yang kosong.... begitulah makna pantun yang dibacakan oleh om Jon Tralala....
BalasHapussaya sangat senang madihin...bahasanya kocak dan menghibur hati....Sekalian belajar bahasa banjar he...ada dangsanak yang punya album madihin...saya ingin mengkoleksinya....trims...salam kulaan sabarataan
BalasHapusAda yg bsa mmbuatkn saya madihin ttng pndidikn?
BalasHapus