Selasa, Agustus 12, 2008

Absurditas Rafilus

Entah terbuat dari bahan apa, tetapi wajah-wajah dan tubuh manusia yang dilukis Chandra Johan di kanvas memang bisa melumer dan pating pletot. Inilah pameran tunggal setelah 10 tahun lamanya tak unjuk diri ke publik. Tetap memikat.

Teks IWAN SAMARIANSYAH

RUANGAN galeri seni rupa CG artspace di lantai 3 Plaza Indonesia yang tak seberapa luas itu ramai oleh sejumlah undangan yang ingin menyaksikan kembalinya Chandra Johan berpameran tunggal. Chandra, perupa serba bisa yang disebut oleh teman-teman dekatnya sebagai tukang oplos aliran seni rupa itu menggelar pameran dengan tema Homo Rafilus, digelar sejak 24 Juli hingga 31 Juli 2008 mendatang.

Chandra yang sibuk menyambut ucapan selamat dari para pengunjung pameran tersenyum saat saya dekati. Dia membenarkan, bahwa judul pameran tunggalnya itu diangkat dari karya sastrawan asal Surabaya, Profesor Budi Darma. ”Saya pengagum beliau. Sering surat-suratan dan bahkan mengundang beliau untuk datang ke pameran saya ini. Sayang beliau berhalangan hadir,” ujarnya menyambut pertanyaan saya.

Berbeda dengan perupa lain yang buku katalognya hanya berisikan sambutan dari pemilik galeri ditambah analisis dari kurator. Buku bersampul hitam setebal 60 halaman itu juga memuat tulisan Chandra Johan mengenai perkembangan karyanya. Sungguh menarik. Maklumlah, selain sebagai perupa, Chandra juga dikenal pula sebagai kurator untuk pelukis lain, juga penulis dan kritikus seni yang hebat.

Chandra juga pernah bekerja di lingkungan media massa sebagai redaktur artistik, tepatnya di Majalah Warta Ekonomi pada periode 1987-1990. Tak heran bila tulisan-tulisannya mengenai seni rupa dan komentarnya banyak menghiasai halaman-halaman budaya berbagai media massa. Tulisannya di buku katalog berjudul ”Jejak Langkahku : Perjalanan dan Perubahan”. Dia menganalisis karya-karyanya sendiri. Unik.

Yang juga membedakan, dia mengundang dua orang untuk mengomentari karya-karyanya pada pameran tunggalnya itu. Yang pertama, Eddy Soetryono selaku kurator dan yang kedua, Maman S. Mahayana selaku kritikus. Tentu saja lukisan-lukisannya dia sertakan. Tapi ada yang ketinggalan : karya-karya instalasinya luput dimuat dalam buku katalognya. Mungkin lupa atau bisa jadi keterbatasan halaman bukunya.

Karya-karyanya yang dipamerkan terasa menghentak kesadaran pengunjung galeri, hampir kesemuanya menampilkan tubuh telanjang manusia. Manusia Rafilus. Tokoh rekaan Budi Darma itu sepertinya memberikan kesan mendalam buat Chandra. Gambaran soal Rafilus ini agak ganjil memang, seolah-olah sosok ini terbuat dari bahan yang keliru dan bukan dari daging seperti manusia pada umumnya.

”Oleh pak Budi Darma saya dipersilahkan bebas menafsirkan Rafilus versi saya. Karena itu saya lantas mengkreasikannya dalam bentuk manusia yang wajahnya pating pletot dan seakan absurd, tidak normal. Itulah dia homo rafilus, manusia absurd yang nasibnya maupun bangun tubuhnya begitu tidak jelas. Miriplah dengan nasib kebanyakan manusia Indonesia bukan,” ujarnya, setengah bergurau.

Eddy Soetryono menuliskan dalam buku katalog bahwa Chandra Johan tampaknya gelisah melihat realitas-realitas sosial di negeri ini yang kian jungkir balik seperti dunia tokoh Rafilus. Realitas menjadi panggung teater tempat berseliweran tokoh-tokoh absurd yang bertingkah polah di pentas publik menciptakan dunia yang jungkir balik dan menghina akal sehat.

Ada serombongan besar anggota DPR yang dengan dingin sekaligus ngotot menuntut kenaikan gaji ketika rakyat yang mereka wakili sedang mengalami kesulitan ekonomi. Dan, beberapa dari mereka melakukan korupsi di tempat terang, menantang KPK yang sedang giat menangkapi maling. Sungguh perbuatan heroik dan gagah berani. Persis benar dengan gambaran sosok homo Rafilus Chandra.

”Chandra banyak menfungsikan kembali khasanah bahasa dan idiom Francis Bacon, yang menggali photograph scanning untuk memiuh wajah dan sosok manusia sehingga tampil pletat-pletot. Dan Chandra memanfaatkan teknik tersebut untuk mencuatkan hadirnya makhluk penuh sandiwara yang batinnya terbelah, tercabik-cabik, centang perenang dan selalu mengelak dari identitas. Makhluk yang selalu menyembunyikan bangkai, tak pernah mau jelas, berantakan dengan serpih-serpih yang saling bertentangan,” kata Eddy.

Sedangkan Maman S Mahayana menulis bahwa Chandra benar-benar pas melukiskan Rafilus, tokoh utama novel Rafilus karya Budi Darma sebagai obyek realitas. ”Rafilus lahir dari sebuah gagasan gila Budi Darma. Gagasan gila itu lantas ditafsirkan Chandra dengan segala kegilaannya lagi, sebab dia mereka ulang dan menterjemahkannya dalam bentangan kanvas, sapuan warna-warna lalu wujud menjadi lukisan,” kata Maman.

Seakan menanggapi tulisan Eddy, Chandra mengakui bahwa dirinya memang menyukai gagasan-gagasan Francis Bacon sejak lama. Karya Bacon didasarkan pada ide out of focus pada teknik fotografi sehingga obyek yang dihasilkan menjadi tidak jelas dan kabur. ”Saya mengambil foto digital, mencoba memotret diri sendiri sambil tubuh atau kepala saya bergoyang-goyang, lalu saya jepret. Hasilnya, memang, foto saya jadi kilasan sosok semata, atau kalaupun bagian wajah yang diambil, mata bisa tinggal satu, kepala jadi peyang dan sebagainya. Pokoknya hancur,” ujar pria kelahiran Langkat, Sumatera Utara 21 Agustus 1958 itu.

Dia mengatakan bahwa tafsiran bebasnya mengenai homo rafilus sudah mendapat semacam ijin dari sang pencetusnya, Budi Darma. Absurditas rafilus bukan hanya dari perilakunya, tetapi juga dari kasat matanya, dari rupanya yang ganjil, mungkin saja sangat jelek menakutkan atau biasa saja. ”Tapi saya lebih suka pada bentuk sosok kemanusiaannya yang purba, yang terdampar entah dimana,” kata Chandra.

Begitulah. Sosok Rafilus memenuhi semua bidang pameran di galeri dua lantai itu, baik yang hanya berupa tampilan wajah maupun sosok tubuh manusia secara utuh. Chandra menggambarkan semua homo rafilus itu umumnya secara telanjang, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan bergerak/in action. Kebanyakan lukisan berseri dengan penekanan pada sosok yang asing, terdampar dan ekstrim.

Entah karena terpengaruh tema lukisan yang dipamerkan, pihak penyelenggara pun akhirnya menampilkan cacat bawaan pula. Kekurangan itu begitu terasa yakni betapa pelitnya pengelola galeri menjamu para undangan yang mengunjungi pameran tersebut. Hanya soft drink ditemani kue kering cap unyil yang menyambut para tetamu, beda sekali dengan pembukaan pameran di galeri lainnya yang begitu murah hati menjamu para tamunya. Keluhan kecil para tamu itu sempat tertangkap oleh telinga saya. Ada-ada saja.

*) Dimuat di Majalah ARTi edisi 5, 7 – 20 Agustus 2008 halaman 58-59. Untuk edisi online-nya silahkan klik http://www.arti-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar