Minggu, Februari 03, 2008

Banjir


Tahun ini, tiga belas tahun sudah aku hidup dan mencari penghidupan di Ibukota.

Dalam masa itu, seingatku sudah tiga kali aku mengalami banjir besar dan dengan skala yang begitu massif dan dahsyat. Tetapi banjir yang Jum'at, 1 Februari lalu melanda berbagai tempat di ibukota memang lain dari yang lain.

Tidak ada isu banjir kiriman dari daerah Puncak atau Bogor. Tidak ada ribut-ribut kenaikan air di Bendungan Katulampa, atau di Manggarai. Yang ada adalah hujan deras, sederas-derasnya selama berjam-jam. Dan Jakarta pun menjelma menjadi kolam raksasa.

Dahsyatnya banjir 1 Februari lalu memang benar-benar dramatis. Karena Jakarta bukan terkena banjir besar kali ini, juga bukan yang terakhir.

Bandara Soekarno-Hatta sempat ditutup selama 5 jam, lebih dari 237 jadwal penerbangan terganggu, sebagian dialihkan ke bandara lainnya. Penumpang keleleran di terminal yang berubah bak pasar malam. Yang baru datang maupun yang berangkat terlantar berjam-jam, bahkan ada yang sampai dua hari bertahan di Bandara.

Jalanan menuju ke bandara merupakan satu titik kemacetan dari 140 titik yang bisa dikatakan lumpuh total. Arus kendaraan menumpuk di jalanan, atau berputar-putar dalam kemacetan tak berujung. Beberapa kendaraan menjelma menjadi perahu dadakan yang hanya kelihatan atapnya karena keburu kejebak banjir sebelum mampu menyelamatkan diri.

Yang lebih menyedihkan lagi dan menjadi puncak dari kemacetan ini dialami oleh rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru mengadakan inspeksi mendadak ke Karawang . Rombongan itu mesti terhenti di depan Sarinah, jalan Thamrin, pusat kota Jakarta. Ruas jalan itu serta jalan Sabang memang tergenang air yang cukup tinggi. Sepinggang orang dewasa.

Dalam gambar kita melihat Bapak Presiden dipayungi untuk pindah mobil, dan melanjutkan perjalanan ke Istana melalui jalur Busway.

Tampaknya, banjir kali ini tak membedakan pangkat tinggi atau rendah, melainkan tanah tinggi atau tanah rendah. Dan ini, rasanya, masih akan menjadi berita lagi, bahkan selama bulan Februari ini. Karena menurut perhitungan BMG, curah hujan masih tinggi. Masih berpotensi menyebabkan terjadinya kolam renang raksasa—yang tak bisa dipakai berenang.

Dan setiap kali terjadi, kita gelageban, terendam dalam, megap-megap, sampai air itu menyusut dengan sendirinya. Entah kemana itu sang ahli, yang dalam kampanyenya menjadi Gubernur Jakarta menjanjikan bisa mengatasi banjir di ibukota negara. Fauzi Bowo ngumpet entah dimana.

Kalau banjir ini terjadi karena peristiwa alam, aku mungkin bisa menerima. Curah hujan yang lebih dari biasanya di musim rendheng ini -- ada yang mengaitkan dengan datangnya Imlek, tahun baru China yang selalu didahului turunnya hujan sebagai tanda banyak rejeki. Ada saat hujan, ada saat kemarau. Ada saat menanam, ada saat panen.

Yang tak bisa kita terima adalah : kenapalah air hujan yang turun itu tidak segera terbuang ke laut. Tidak segera teralirkan melalui gorong-gorong yang ada, melalui kanal, atau dipercepat dengan pompa air untuk membuangnya.

Gubernur DKI malah marah-marah pada kontraktor gorong-gorong dan menuduh mereka tak becus kerjanya. Banjir itu masalah. Dan masalah perlu dicari solusinya. Tidak perlu terlalu banyak marah-marah, bisa mengundang penyakit ke tubuh kita.

Sebut saja misalnya air tersumbat karena aliran sampah. Ya mestinya segala daya dan upaya dilakukan agar sampah tak dibuang sembarangan. Taruh kata karena kanal penyalur banjir masih terganjal. Ya sudah, segala daya, segala dana diupayakan untuk menyelesaikan ini. Sampai kemudian kita tak memakai pembenaran terjadinya banjir lagi karena alasan yang sama.

Taruh kata dan taruh kata yang bisa diidentifikasi sebagai penyebab, dengan bergegas diselesaikan. Jangan cuma umbar kata-kata di koran dan televisi. Atau malah ngumpet tidak mau berkomentar. Itu bukan sang ahli namanya. Lebih cocok disebut saja ahli ngumpet, atau ahli banjir aja sekalian. Ahli yang bawa banjir, bukan ahli mengatasi banjir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar