BERKALI-kali kita mendengar dilakukannya operasi
VCD porno. Berkali-kali pula kita menyaksikan para pedagang yang sama berjualan kembali barang haram tersebut, di berbagai pojok
kota di
Indonesia. Seperti juga pelacuran, aksi pornografi memang sulit diberantas dari negeri ini, meskipun berbagai upaya dan tindakan hukum telah dilakukan. Himbauan ulama tidak digubris, ancaman penegak hukum disepelekan dan kecaman berbagai kelompok masyarakat diacuhkan. Kesemuanya tidak mampu mengatasi persoalan tersebut.
Meski begitu, kita di Indonesia cukup beruntung karena urusan syahwat itu tetap tersembunyi dibandingkan, misalnya, dua negara jiran kita : Malaysia dan Thailand. Negara kita ini masih lebih pandai ”menutup-nutupi” borok-borok yang ada. Dibandingkan dengan Indonesia, kedua negara tersebut relatif lebih terbuka dalam soal pornografi.
Begitu juga dengan pelacuran, alkohol dan perjudian. Begitulah yang terjadi. Sebagai bangsa, kita relatif masih bisa mengendalikan diri. Jakarta memang tetap undercover dalam soal-soal tersebut. Tidak heran bila buku-buku berjudul undercover dan underground yang membahas soal-soal urusan seks laku keras di negeri kita.
Di Bangkok, misalnya, masalah alkohol dan pornografi telah meracuni kaum mudanya sedemikian rupa. Dengan mudah kita bisa mendapatkan majalah-majalah playboy versi Thailand dijual di kaki lima seharga 20 – 30 Bath, sedangkan alkohol dijual di sembarang tempat. Remaja-remaja dengan rileks membaca buku-buku porno dan minum alkohol di muka umum. Malahan di etalase-etalase toko, minuman keras berbagai merk ditata sedemikian rupa dengan sentuhan artistik.
Adapun di Kualalumpur, ibukota negeri jiran kita yang terkenal dengan budaya melayunya itu, para pelaku pelacuran melakukan bisnis prostitusi terang-terangan. Mereka menulis Rumah Tumpangan – biar lelaki hidung belang tidak tersesat --- di depan rumahnya, bergandengan dengan nama-nama toko, dan dilindungi negara. Mereka yang membutuhkan jasa rumah tumpangan tersebut tanpa malu-malu dan tanpa menengok kiri kanan langsung saja masuk ke ruangan, mengisi daftar tamu dan memilih pekerja seks komersial yang disukainya.
Bisnis prostitusi di Thailand, bentuknya lebih canggih yaitu mengarah pada hiburan (entertainment). Seperti yang ada di kawasan Patpong, Bangkok yang tampaknya dikonsumsi oleh turis-turis bule baik dari Eropa, Amerika maupun Australia. Hampir semua jenis hiburan malam tersedia di sini mulai dari cewek go go dance, menari dengan pakaian dalam, sampai ke striptease betulan tanpa sehelai benang. Mulai dari penari sampai waitress semuanya anak muda. Bioskop dan iklan luar ruangan juga tak luput dari arus deras pornografi tersebut.
Meskipun lebih terbuka dan terang-terangan dibandingkan Indonesia, Badan sensor Malaysia sama galaknya dengan Lembaga Sensor Film-nya kita. Badan sensor negaranya Mahathir Mohamad itu luar biasa protektifnya terhadap moral generasi muda Malaysia. Pendek kata, generasi muda Malaysia harus dilindungi habis-habisan dari ekspose berlebihan terhadap segala wujud elemen-elemen pornografi.
Berhasilkah upaya tersebut ? Faktanya adalah, Badan sensor tersebut tidak mampu menghentikan tayangan pamer goyang para denok Bollywood di televisi, serta jutaan mata lelaki Melayu yang saban hari terpaku pada guncangan dada Karina Kapoor dan juga pusar indah
Urmilla Matondkar.
Meski begitu, badan sensor Malaysia tetap saja galak dengan menggunting habis adegan-adegan yang dianggap akan merusak mentalitas dan moralitas bangsa. Contohnya adalah serial ”Zhou Yu's Train” yang dibintangi oleh aktris Gong Li. Penggemar Gong Li kerapkali hanya bisa melongo. Mereka dianggap belum cukup dewasa sehingga dari adegan berpandangan mata saja, bisa tiba-tiba meloncat ke shoot atas selimut yang sudah acak-acakan.
Jangankan Gong Li, satu-satunya adegan ciuman dalam ”Ada Apa Dengan Cinta' yang digambarkan di film review sebagai ”a mere brush of lips so pure and far from vulgarity” juga di-cut dengan kejamnya. Meskipun itu film remaja, tetapi film yang dibintangi oleh bintang-bintang muda Indonesia tersebut tetap dianggap mengeksploitase nafsu rendah anak muda. Begitulah sikap keras badan sensor Malaysia. (iwan samariansyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar