Senin, September 03, 2007

Pemilu 2004 dan Kelahiran Kelompok Oposisi


Oleh : Iwan Samariansyah

SETELAH ditetapkannya hasil pemilu presiden putaran pertama oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan keberhasilan meraih suara terbanyak pada pasangan SBY-Jusuf Kalla (33,57 %) dan Megawati-Hasyim Muzadi (26,27 %), maka proses demokrasi kita berkembang begitu cepat. Amien Rais, calon presiden dari PAN yang menduduki urutan keempat dalam perolehan suara (14,90 %) telah mengakui kekalahan tersebut dan mulai mempertimbangkan langkah menjadi oposisi penuh.

Ini tentu saja merupakan terobosan dalam perkembangan demokrasi di era reformasi sekarang ini. Apabila Amien bisa mewujudkan gagasannya tersebut, dengan sokongan PAN dan PKS, maka hal tersebut seperti gayung bersambut menyambut ajakan SBY, calon Presiden dari Partai Demokrat. Dalam berbagai kesempatan, SBY selalu menyampaikan sikapnya bahwa bila terpilih nanti dalam Pemilu putaran kedua dia akan membentuk pemerintahan koalisi terbatas. Sedangkan kelompok partai yang tidak masuk dalam koalisi dipersilahkannya untuk menjadi oposisi terhadap pemerintah.

Bagaimanapun, bila Indonesia hendak menjadi negara demokrasi yang sebenar-benarnya maka menjadi kelompok oposisi sama terhormatnya dengan menjadi penguasa. Oposisi tidak selalu berarti perlawanan asal beda, apalagi jika pemerintah hasil Pemilu 2004 bersedia membuka pintu lebar-lebar dikritik, serta jika yang kalah Pemilu 2004 berbesar hati menjadi oposisi seperti yang ditunjukkan Prof. Amien Rais.

Tampaknya tekad Amien menjadi oposisi penuh terhadap pemerintah itu patut didukung. Paling tidak, sekali lagi dia hendak memberikan ”pendidikan politik” seperti yang pernah dikatakan oleh koleganya Prof. Nurcholish Madjid dalam suatu kesempatan bahwa menjadi oposisi tidaklah lebih rendah martabat politiknya ketimbang menjadi penguasa.

Oposisi yang dilakukan oleh pers, aktivis LSM dan kaum intelektual meski kritik-kritik yang disampaikan bisa mempengaruhi opini masyarakat, akan tetapi tidak cukup kuat untuk merombak kebijakan pemerintahan. Bila Amien bisa ”menjelmakan” diri menjadi pemimpin oposisi nasional dan hal tersebut disokong penuh oleh partainya di Parlemen yang memiliki 52 kursi dan PKS dengan 46 kursi maka kekuatan ini tentu saja patut diperhitungkan oleh pemerintah yang berkuasa.

Amien bersama Hidayat Nur Wahid, presiden PKS akan menjadi pemimpin oposisi yang efektif untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Amien akan menjadi pemimpin oposisi di luar parlemen (karena dia tidak lagi menjadi anggota DPR untuk periode 2004-2009) sedangkan Hidayat Nur Wahid akan menjadi pemimpin oposisi di dalam parlemen. Hidayat juga salah satu dari dua anggota DPR yang terpilih secara langsung dan memenuhi angka bilangan pembagi pemilih (BPP) sehingga legitimasinya di mata pemilih sangat tinggi.

Kelompok oposisi seperti ini cukup efektif untuk demokratisasi. Tentu saja agar berfungsi penuh maka pengurus dan anggota kedua partai (PAN dan PKS) diharapkan tidak masuk dalam kabinet koalisi yang dibentuk oleh Presiden terpilih hasil pemilu putaran kedua, 20 September 2004. Amien dan Hidayat bisa secara bersama-sama mewujudkan gagasannya mengenai pemerintahan yang jujur dan bersih dari korupsi dengan melakukan pengawasan terhadap penguasa.

Kebutuhan untuk membentuk suatu kelompok oposisi yang kuat memang salah satu pekerjaan rumah yang belum bisa diwujudkan dengan baik dalam era reformasi. Harus kita akui bahwa budaya politik kita belum mampu memproduksi kelompok oposisi yang serius tersebut. Sistem dan mentalitas politik bangsa masih belum mampu melahirkan partai dan kepemimpinan yang betul-betul berkualitas.

Demokrasi di tingkat elite tidak kunjung bersemai subur di satu pihak, di pihak lain mentalitas korup dan pengabsahan cara apa saja menjadi perilaku politik yang betul-betul mentradisi, bahkan mengakar. Dibandingkan dengan sebagian elite yang betul-betul memperjuangkan aspirasi rakyat, jumlah mereka amat sedikit serta tak sebanding dengan banyaknya para petualang politik yang hanya mencari keuntungan kelompoknya.

Karena itulah, kelahiran kelompok oposisi paska Pemilu 2004 ini haruslah kita sambut gembira. Kita benar-benar menunggu adanya partai oposisi yang kuat pasca-Pemilu 2004 ini, untuk mengontrol kinerja partai berkuasa. Oposisi bukan sebagai komoditas politik, sebagaimana kita lihat saat ini, banyak partai yang ragu-ragu menjadi oposisi ketika tergiur ditawari kursi kekuasaan. PAN dan PKS harus mampu memberikan pembelajaran kepada publik bagaimana menjadi oposisi yang bermartabat.

Dengan kekuatan dan sumberdaya yang dimiliki oleh kedua partai politik tersebut, maka sebagai kekuatan oposisi keduanya mampu memobilisasi kekuatan massa. Dan mereka berpotensi melakukannya secara tertib dan damai karena begitu banyaknya pemimpin-pemimpin partai dengan latar belakang intelektual yang memadai dalam tubuh kedua partai politik tersebut. Kedua partai politik tersebut juga memiliki visi yang jelas tentang masa depan Indonesia, lepas dari bayang-bayang pola lama Orde Baru.

Partai politik di Indonesia harus mulai membiasakan diri mengambil posisi yang jelas dan tegas dalam siklus lima tahunan Pemilu. Yang menang menjadi penguasa, dan yang kalah menjadi kelompok oposisi. Yang menang harus memilih sebagian dari kelompok yang dikalahkannya menjadi mitra koalisi dan membiarkan partai-partai politik yang tidak ikut serta bergabung dalam kubu oposisi.

Tentu saja, pihak penguasa tidak boleh alergi dan selalu terbuka terhadap kritik-kritik yang disampaikan kubu oposisi. Bahkan, bilamana perlu mengikuti solusi kubu oposisi bila setelah dikaji dan diuji secara mendalam memang layak diterapkan oleh pemerintah.

Kubu oposisi juga bisa meninggalkan tradisi party marketing sebagaimana yang dilakukan selama masa kampanye dengan rally-rally politik yang megah namun kosong isinya. Langkah seperti itu tidak pernah membuahkan hasil apa-apa, sebab hanya hura-hura yang dihasilkan. Kemampuan kubu oposisi melakukan mobilisasi masyarakat harus diarahkan untuk memberikan alternatif pemecahan terhadap masalah yang dihadapi pemerintah dalam proses pembangunan bangsa.

Sudah saatnya pola lama mobilisasi massa peninggalan Orde Baru ditinggalkan. Para pemimpin oposisi tidak boleh lagi berbicara atas nama rakyat saja melainkan berbicara bersama rakyat. Para pemimpin oposisi harus melibatkan rakyat dalam arti sebenarnya. Kini tugas partai oposisi yang utama adalah mengembalikan fungsi partai agar dapat dimanfaatkan rakyat dalam posisi yang wajar. Salah satu contoh mobilisasi rakyat adalah mencari masukan dari daerah untuk memecahkan suatu masalah.

Kubu oposisi juga bisa menggunakan kemampuannya memobilisasi massa rakyat untuk menekan pemerintah. Misalnya dengan mengajak pendukung partai untuk melakukan mogok diam nasional. Oposisi bisa dengan tegas menyampaikan kepada pemerintah, jika pemberantasan korupsi tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka kelompok oposisi akan menyerukan mogok nasional.

Artinya rakyat ambil bagian dalam perjuangan yang ril. Langkah ini lebih baik daripada membuat huru-hara. Mogok diam secara damai, juga relatif lebih dekat dengan budaya politik Indonesia yang sebagian besar rakyatnya adalah petani. Sejarah Indonesia juga menuliskan rakyat sudah terbiasa melakukan gerakan damai ini.

Selain itu mogok diam, seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi di India atau Martin Luther King di Amerika, mempunyai kekuatan yang maha dahsyat. Pemerintah tidak bisa melawan dengan senjata, karena demonstran memang tidak melakukan apa-apa. Pemerintah akan dengan terpaksa menuruti kemauan kubu oposisi dan mulai memperbaiki diri. Dengan demikian perbaikan kehidupan bangsa bisa dilakukan tanpa harus melakukan perubahan pemerintahan yang bermakna kudeta. (**)

- Artikel ini dibuat bulan September 2004, namun tidak dipublikasikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar