Minggu, Agustus 05, 2007
Ustadz Cahyadi Takariawan
Bukunya Membuat PKS Terbelah
Oleh : Iwan Samariansyah
ADA kehebohan baru di lingkungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai dakwah yang sedang naik daun saat ini. Dikabarkan para anggota PKS terbelah karena terbitnya buku karya ustadz Cahyadi Takariawan yang dikatakan sebagai buku anti poligami. Sesungguhnya, kalau mau dibaca seksama, buku tersebut berjudul "Bahagiakan Diri dengan Satu Istri" itu sebetulnya tidaklah mencoba membenturkan pendapat soal mereka yang pro poligami dan anti poligami.
Ustadz Cahyadi, menurutku, hanya mencoba menceritakan sejumlah ketidakbahagiaan perkawinan poligami dan memang itu fakta apa adanya. Tetapi dalam tulisan ini, aku tak sedang hendak membahas buku tersebut lebih jauh. Aku hanya ingin mengupas sosok penulis buku tersebut : Ustadz Cahyadi Takariawan. Maklumlah, dia adalah orang yang kukenal dengan sangat baik di masa laluku. Dan insya Allah, beliau pasti masih mengingatku dengan baik.
Ustadz Cahyadi Takariawan membuatku teringat pada kenangan lama, lebih dari 15 tahun lampau. Cahyadi waktu itu adalah pengurus senior di Jamaah Shalahuddin UGM, dan aku adalah aktivis baru yang baru saja melibatkan diri dalam aktivitas2 kegiatan keislaman di Gelanggang Mahasiswa UGM.
Selain Mas Cah - begitu aku dan teman2 segenerasiku memanggilnya - ada mas Kamto (Teknik Kimia), mas Thowi alm (FNT), mas Cholid (Teknik Sipil) dan sederetan nama lainnya. Mas Cah sendiri lebih kukenal sebagai mahasiswa senior asal Fakultas Farmasi UGM. Selain di Jama'ah Shalahuddin, dia juga kukenal di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO yang mendominasi aktivitas kemahasiswaan saat itu.
Tutur kata Mas Cah lembut, banyak senyum dan sangat pemurah membagi ilmu. Kebiasaannya yang menyenangkan, namun kerap bikin rikuh saat bertemu selalu sama : mengajak salaman, tersenyum dengan anggun dan kemudian bertanya, apa saja yang kukerjakan hari ini ! Kadang suka bingung menjawabnya. Mau bohong sungkan. Singkat kata, mahasiswa Farmasi Angkatan 1985 itu adalah orang baik dimataku.
Dialah orang pertama yang mengkritik diriku karena malas mengaji. Dan aku memang membenarkannya. Mengaji disini adalah pertemuan holaqoh mingguan dengan seorang senior sebagai fasilitator dan sejumlah yunior sebagai pesertanya. Biasanya diselenggarakan pagi hari di gelanggang mahasiswa diatas tikar, dan membahas al qur'an dan hadits. Berlangsung sekitar 30 menit- 1 jam.
Maklumlah, mahasiswa baru (1987) sepertiku banyak disibukkan dengan laporan praktikum yang membuat kepalaku mumet. Pagi hari adalah jatahku membuat laporan praktikum, karena malam hari biasanya mengerjakan urusan lain, belajar atau ehem nonton TV. Seminggu ada lima kali praktikum. Benar-benar menyita waktu. Itu pula sebabnya aku jarang sekali bisa ikut holaqoh Jama'ah Shalahuddin. Sesuatu yang kelak kemudian hari aku sesali. Karena setelah itu, aku memang tak lagi punya kesempatan untuk menambah atau memperdalam ilmu-ilmu keagamaanku.
Mas Cahyadi sendiri bersama Mas Cholid memang akhirnya ikut menjadi arsitek pendiri partai baru pasca keberhasilan gerakan reformasi. Partai yang kemudian menjadi gerakan dakwah fenomenal di negeri ini, Partai Keadilan. Dan saat ini dia adalah satu dari 99 anggota Majelis Syuro, majelis tertinggi di partai yang berdiri sejak 1998 itu. Anggota majelis hanya 99 orang yang dipilih dari jutaan kader PKS di seluruh Indonesia .
Meruyaknya nama Mas Cahyadi akibat bukunya nan kontroversial itu bisalah dimaklumi. Sejak masih seniorku di Jama'ah Shalahuddin UGM, Mas Cah dikenal konsisten menolak kehidupan poligami. Akan tetapi dia menghormati pilihan orang yang melakukan poligami. "Poligami adalah jalan darurat. Kita bisa melakukan kebaikan tanpa perlu berpoligami," ujarnya selalu. Argumentasi dan pendiriannya inilah yang juga aku ikuti.
Bekasi, 5 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar