Amplop-isme dan Moralitas Wartawan
Oleh :
Mengikuti rombongan wartawan yang tengah meliput sebuah acara secara beramai-ramai, biasanya kita akan melihat fenomena menarik yang khas
Namun, lain halnya bila yang diliput adalah sebuah konferensi pers atau undangan menghadiri product launching dari sebuah perusahaan yang memproduksi barang baru. Selesai mengikuti acara, biasanya para wartawan akan diminta panitia untuk mengisi absensi dengan cara membubuhkan tanda tangan. Acara ini kerap merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu wartawan, sebab setelah mengisi absen pihak panitia akan membagikan cinderamata beserta "amplop" berisi uang "ala kadarnya". Harap maklum, yang namanya ala kadarnya di sini berbeda-beda besarnya. Bisa sekadar pengganti uang transpor yang besarnya sekitar Rp 75.000 bisa juga uang "lelah" untuk imbalan jasa pemuatan yang berkisar antara Rp 250 ribu - Rp 400 ribu.
Menghadiri undangan instansi pemerintah, BUMN atau militer, lain lagi. Biasanya acara bagi-bagi amplop telah dikoordinir wartawan kepercayaan instansi yang bersangkutan. Tidak pernah diketahui, berapa besar uang yang diterima para koordinator itu. Yang jelas, sang koordinator membagi amplop secara seragam pada teman-temannya. Kemungkinan kelebihan amplop disimpan sendiri oleh sang koordinator. Meliput acara hiburan, seni, dunia selebritis dan artis tak jauh berbeda. Masing-masing telah punya koordinator sendiri.
Wartawan di Indonesia menganggap pemberian amplop adalah hal yang wajar. Apalagi wartawan senior yang juga Ketua Dewan Kehormatan PWI, Rosihan Anwar, malah menganjurkan agar para wartawan tak menolak pemberian amplop. Pada jaman PWI di bawah kepemimpinan Sofyan Lubis, sang ketua juga menganjurkan hal serupa. "Sejauh hal itu tak ada paksaan dari si wartawan atau sumber berita," ujar Sofyan Lubis mencoba berkilah bahwa hal itu tidak bertentangan dengan kode etik dan moralitas seorang wartawan.
Sikap pragmatisme para tokoh PWI yang nota bene adalah pimpinan di sejumlah media bukan tanpa alasan. Umumnya mereka melihat gaji wartawan yang telalu rendah sebagai dasar legitimasi kebijakan yang mereka berikan. "Mau apa lagi, perusahaan belum mampu menggaji wartawannya secara layak. Jadi silakan cari tambahan di luar, asalkan halal," begitu ucap sejumlah pimpinan media.
Apakah memang demikian halnya? Ternyata sejumlah penerbitan besar terkemuka lebih memilih melarang wartawannya untuk menerima amplop, karena bisa mengganggu integritas wartawan sekaligus kredibilitas lembaga.
Namun, yang jadi pertanyaan apakah kebijakan keras itu disertai dengan sistem penggajian yang memadai bagi para wartawannya? Jawabannya : tidak. Contoh yang terkemuka adalah para wartawan di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menerapkan ketentuan melarang amplop pada karyawannya ternyata tak digaji cukup layak. Gaji pokok seorang wartawan baru di Gramedia Majalah sekarang "cuma" sekitar Rp 400 ribu - Rp 650 ribu (tulisan ini dibuat pada 1 April 2000, red). Wartawan tabloid semacam Citra di lingkungan Gramedia Majalah bergaji paling rendah. Yang tertinggi adalah majalah Intisari dan Bobo yang dianggap telah mapan dan menguntungkan. Di kelompok penerbitan majalah, gaji wartawan Gramedia ini masih berada jauh di bawah rata-rata gaji karyawan Tempo, Forum, Gatra maupun Gamma.
Rendahnya (under-paid -red.) gaji wartawan memang sudah dalam taraf yang memprihatinkan. Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dilakukan di Jakarta pada Mei-Juni 1999 lalu menyatakan dari 250 wartawan responden tercatat 5% bergaji di bawah Rp 250 ribu, 35% bergaji antara Rp 500-1 juta , 30% bergaji antara Rp 1-2 juta dan 8% bergaji di atas Rp 2 juta. Sayang, hasil survei AJI tak membedakan antara jabatan reporter dan redaktur.
Menurut hasil survei majalah Asiaweek Edisi 29 November 1996 yang memetakan gaji tertinggi kelompok profesional di kawasan Asia-Australia memperjelas rendahnya gaji wartawan. Menurut hasil survei gaji tertinggi reporter di
Sejumlah media malah tak memberi gaji wartawannya. Kepada para wartawan yang baru direkurut, si pemilik media menyatakan bahwa pihaknya hanya bisa memberi kartu pers. Si wartawan dipersilakan untuk mencari uang dan kehidupan yang layak sendiri. Si wartawan diperlakukan seperti halnya anak ayam yang dilepas induknya untuk cari makan sendiri. Kondisi seperti ini paling banyak dipraktekkan para pemilik media di luar Jawa.
Kehidupan wartawan di
Gaji wartawan
Beberapa waktu lalu terbongkar ada seorang wartawan gadungan yang telah berhasil menipu sejumlah gubernur dan pejabat daerah. Termasuk Gubernur DKI
Untuk menghindari kebutuhan menerima amplop, ada banyak wartawan mengambil pekerjaan sambilan. Kita juga bisa melihat ada sejumlah wartawan yang memposisikan diri sebagai jurubicara atau ghost-writer seorang pejabat.
Fenomena amplopisme di kalangan wartawan kini telah berada dalam taraf yang betul-betul memprihatinkan. Terutama sejak masa krisis ekonomi yang dimulai pada Agustus 1997, kebanyakan para pemilik media memilih tak menaikkan gaji wartawannya tapi cuma mengkompensasinya dengan "tunjangan kemahalan".
Cara kerja lainnya adalah dengan mendatangi pengusaha dengan menunjukkan kartu pers dan menyatakan ingin wawancara.
Sejak 6 tahun terakhir sejumlah wartawan yang medianya menerapkan kebijakan melarang menerima amplop memilih jalan lain yang lebih canggih, halus dan tak mencolok mata. Mereka memberikan nomor rekening bank pada sang narasumber, hingga uang bisa langsung di transfer ke rekening bank wartawan bersangkutan. Demikian juga parsel yang di sejumlah media diputuskan untuk dibagi rata seluruh karyawan, oleh wartawan kalangan ini dianjurkan untuk langsung di antar ke rumah, bukan ke tempat kerja. Luar biasa.
Fenomena amplopisme hampir merata di kalangan wartawan. Termasuk di kalangan media terkemuka di
Di Indonesia , amplopisme tak bisa dilepaskan dari semata-mata masalah kemiskinan dan kepelitan pemilik media, tapi juga karena ketidakberdayaan wartawan dalam menuntut hak-haknya. Kebanyakan pemilik media hanya memproduksi sejumlah aturan, namun tak pernah memperhatikan sisi kesejahteraan karyawannya. Sejumlah media terkemuka yang dikenal sebagai pembela demokrasi, yang tiap hari melaporkan soal nasib buruh dan TKW, ternyata justru melarang "gerakan buruh" yang dilakukan wartawannya sendiri. Wartawan yang coba-coba terus melawan keputusan pelarangan "gerakan buruh", biasanya akan dikucilkan atau dimutasi.
Masalah amplop adalah masalah pelik yang juga terkait dengan fenomena para "penjahat" dan para "oknum" yang mempunyai jabatan dan usaha penting. Mereka ini punya kepentingan dengan adanya publikasi positif tentang dirinya. Untuk itu mereka melakukan gerakan amplopisme sebagai upaya sogokan. Yang terjadi kemudian adalah sebuah simbiosis mutualistis, di mana si wartawan dapat uang dan si tokoh dapat nama baik.
Sejumlah kalangan lebih melihat moralitas sebagai salah satu penyebab menjamurnya budaya amplop. Menurut mereka nilai-nilai moralitas bangsa ini memang tengah merosot drastis. Hal ini antara lain bisa dilihat bagaimana para wartawan yang menghadiri undangan seminar sehari biasanya datang menjelang waktu makan siang dan segera pergi setelah menikmati makan siang gratis. Artinya, peristiwa politik dan perjumpaan dengan narasumber, di mata kebanyakan wartawan, tak lebih adalah peristiwa ekonomi biasa, yaitu sekadar cari bahan dan formalitas wawancara serta bisa makan gratis.
Masalah moral dan amplop memang pelik dan khas
wah... wah... ini bacaan bagus tidak hanya untuk wartawan tapi juga untuk profesional yang lain agar bisa saling menghargai peran masing-masing. Bekerja adalah amanah sekaligus ibadah
BalasHapusSaya kira masalah "amplop", "angpau" bagi wartawan, kita kembalikan pada pribadi wartawan masing2....
BalasHapusMungkin di awal2 pekerjaan sebagai wartawan hal itu merupakan sebuah anugerah .., namun seharusnnya dengan semakin matang "soul of jurnalist" mereka..., saya percaya masalah amplop dengan sendirinya sang wartawan dapat mengatasi hal tersebut.
Terkecuali ...(saya pikir), bagi wartawan yg terjerumus dalam sebuah situasi dimana dia tidak mempunyai pilihan " to be someone "
atau memang mereka adalah wartawan kutu loncat ..