Senin, Juli 23, 2007

Efek Komunikasi Kasus Akbar Tanjung


Oleh : Iwan Samariansyah

Sungguh dahsyat peliputan media dalam kasus penahanan Akbar Tandjung, yang disangka telah menggelapkan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar. Efek komunikasi dari kasus itu sungguh nyata terlihat. Orang membicarakannya di mana-mana, dari warung kopi hingga hotel berbintang. Berbagai talk show, wawancara, dan analisis pun bermunculan susul-menyusul. Semua orang menunggu perkembangan kasus itu pada hari-hari terakhir ini.

Bagaimanapun, masalah yang menyangkut efek komunikasi massa menduduki posisi paling penting dalam hampir keseluruhan studi komunikasi selama puluhan tahun. Apalagi, bila menyangkut orang penting. Dan Akbar Tandjung adalah orang penting di negeri ini. Dia adalah Ketua DPR, lembaga tinggi negara yang tengah disorot publik karena kinerjanya dianggap kurang optimal. Dia juga adalah ketua umum partai politik nomor dua terbesar hasil Pemilu 1999, Partai Golkar. Tak mengherankan semua sorotan media semua ditumpahkan pada dramatisasi tersebut. Semua menunggu dengan harap-harap cemas.

Efek sendiri diartikan sebagai semua jenis perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang, setelah menerima suatu pesan komunikasi dari sumber tertentu. Definisi yang ditulis oleh Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2000), dalam bukunya Mass Communications Theory, menjelaskan pula mengenai perubahan yang mungkin terjadi. Efek komunikasi dapat membuat perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku nyata. Pengetahuan orang mengenai Akbar Tandjung berubah, sikap mereka juga berubah, dan pada akhirnya perilaku mereka pun berubah. Itu semua terjadi setelah Kejaksaan Agung memutuskan untuk menahan mantan Menteri Sekretaris Negara tersebut selama 20 hari untuk kepentingan pemeriksaannya sebagai tersangka kasus Bulog.

Hanya saja patut dipahami, jenis dan efek komunikasi massa terhadap khalayak ditentukan oleh bekerjanya sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut, demikian Wilbur Schramm, meliputi pesan, situasi, kepribadian audiens serta kelompok, ketika audiens menjadi anggotanya. Itu pula sebabnya, respons publik yang bersimpati dan menjadi pemilih Partai Golkar pada Pemilu 1999 lalu berbeda dengan respons publik yang memilih dan mendukung partai lain.

Bagi para aktivis Golkar, Akbar Tandjung adalah korban dari konspirasi politik tingkat tinggi. Dan Akbar menambah simpati dengan "mesiu simpati" yang cukup luar biasa, yaitu membatalkan upayanya melakukan gugatan praperadilan atas penahan dirinya tersebut. Sedangkan bagi orang di luar Partai Golkar cenderung menganggap bahwa kasus Akbar ini merupakan momentum untuk semakin menggalakkan upaya pemberantasan korupsi secara besar-besaran.

Maklum, saat kasus Akbar mencuat, publikasi hasil survei dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC) baru diumumkan. Hasilnya, memposisikan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia dengan tingkat skor 9,92. Skor yang diperoleh Indonesia merupakan angka terjelek negara ini sejak PERC melakukan survei sejak 1995. Skor yang diperoleh Indonesia cukup mengagetkan pihak PERC karena sama sekali tak ada perbaikan posisi. Bahkan, skor korupsinya semakin tinggi.

Ini sungguh luar biasa. Perubahan pemerintahan dari Soeharto ke Habibie, lantas kepada Abdurrahman Wahid dan beralih pada Megawati ternyata tidak mengubah apa pun dalam soal kebiasaan melakukan penggelapan uang negara alias korupsi. Efek publikasi PERC tersebut berakumulasi dengan kasus Akbar, sehingga media massa merasa sah-sah saja untuk melakukan blow up terhadap masalah korupsi tersebut secara terus-menerus.

Yang paling menarik justru timbulnya kemungkinan yang, meski agak spekulatif sifatnya, mau tidak mau perlu dikemukakan di sini. Kemungkinan itu adalah bahwa adanya kasus penahanan Akbar dapat menjadi suatu gerakan yang efektif untuk melakukan pemberantasan korupsi secara lebih efektif dan simultan. Paling tidak, itulah efek komunikasi yang timbul sebagai akibat adanya peliputan besar-besaran media massa atas kasus itu.

Hanya saja, perlu disadari, mengacu pada riset yang pernah dilakukan oleh Erie County, Rovere, Decatur, juga Elmira, pengaruh atau efek komunikasi massa sebetulnya terbatas, tidak all powerful, malah sama sekali tidak efektif bila tujuannya untuk mengadakan perubahan sikap atau perilaku nyata. Dalam hal ini perilaku publik untuk memusuhi korupsi. Bagaimanapun, efek komunikasi massa bersifat terbatas.

Sayangnya, harus pula kita sadari bahwa permasalahan media massa di mana pun sama. Tidak dulu, tidak pula sekarang. Semua berpangkal tolak pada pengungkapan kebenaran fakta oleh pers. Postman (1995) menyebutnya sebagai konversasi media. Artinya, media memiliki dan membangun realitasnya sendiri, yang mungkin berbeda dengan realitas empiris. Sebagai masyarakat, kita patut bertanya pada para pengelola media, sudahkah fakta yang sesungguhnya terungkap dalam kasus Akbar Tandjung?

Semua mafhum, media massa memang memiliki keterbatasan. Realitas media berbeda dan berjarak dengan realitas empiris, baik realitas yang ada dalam ruang pemeriksaan Kejaksaan Agung, forum talk show, seminar, open house maupun orasi dalam demonstrasi. Celakanya, justru realitas media inilah yang dianggap sebagai kebenaran oleh publik dan dipahami sebagai realitas yang sesungguhnya.

Jadi, bisakah kasus Akbar Tandjung ini dijadikan starting point bagi kita untuk secara bersungguh-sungguh melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme? Atau, kasus tersebut hanya akan menjadi salah satu ikon pasar dalam media yang semakin akrab dengan kekuatan ekonomi pasar. Artinya, seiring dengan berlalunya waktu, maka kasus tersebut akan tenggelam dan kongkalikong di belakang layar pun terjadi.

Sesungguhnya, kalau kita mau jujur, efek komunikasi yang paling berpengaruh dalam kasus Akbar ini hanyalah kesadaran sesaat bagi para pejabat yang sedang berkuasa untuk tidak dengan mudah melakukan tindakan yang bersifat menyalahgunakan wewenang. Kalaupun mau melakukan korupsi, jangan melakukan kesalahan fatal seperti yang dilakukan Akbar. Soal adanya gerakan bersama antikorupsi boleh ditinggal di ruangan seminar atau talk show saja. Begitulah yang terjadi selama ini.

Kalau benar begitu, tahun depan "mahkota" sebagai negara terkorup dapat dipastikan tetap bertahan di republik ini. Saat itu, Akbar mungkin sedang bersiap kampanye untuk Pemilu 2004!

*) Mahasiswa Ilmu Komunikasi Pascasarjana UI

Dimuat Koran Tempo Edisi Rabu, 20 Maret 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar