Kamis, Maret 22, 2012

Mengembalikan Habitat Ikan Hias di Buleleng


Penjual ikan hias di pinggir jalan
Sasaran program CSR PT Indonesia Power di Buleleng adalah memajukan perekonomian lokal, kapasitas lokal, dan menggali kemampuan lokal.

Teks : Iwan Samariansyah

Berawal dari keprihatinan seorang Ni Made Indrawati, perempuan yang hidup dan dibesarkan di pesisir Buleleng, Bali Barat terhadap kondisi lingkungan hutan dan laut di desanya maka hadirlah sebuah lembaga bernama Pilang. ”Lembaga ini kami dirikan bersama kawan-kawan pada 2004 untuk menjadi fasilitator bagi pengembangan masyarakat pesisir,” kata Indrawati kepada kami saat mengunjunginya di sekretariatnya, beberapa pekan lalu.  

Kabupaten Buleleng yang terletak di pantai Utara Pulau Bali mungkin tidak begitu dikenal oleh turis di Denpasar dan Pantai Kuta. Tetapi wilayah ini sesungguhnya merupakan salah satu lokasi dengan koneksi internasional yang tak kalah pentingnya dengan pusat wisata dunia itu.

Wilayah yang tenang dan tak jauh dari pintu gerbang Bali di pesisir barat, Gilimanuk itu, adalah pusat dari perdagangan ikan hias global dimana ikan hias diekspor melalui Denpasar dan Jakarta ke berbagai negara di dunia.

Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Kabupaten Buleleng seperti Desa Penyabangan, Pejarakan dan Sumberkima telah menangkap ikan hias sejak tahun 1970 an. Pada masa itu, nelayan menangkap ikan hias dengan cara tradisional, menggunakan jaring, cara yang ramah lingkungan.

Namun pada tahun 1980an nelayan mulai menggunakan teknik penangkapan yang lebih agresif dengan menggunakan racun potassium cyanide, dikenal sebagai potas. Langkah ini tanpa disadari telah merusak lingkungan laut. Betapa tidak. Penggunaan sianida (potas) ini adalah dengan cara menyemprotkan cairan sianida ke terumbu karang. Cara ini menyebabkan gerombolan ikan hias keluar dari persembunyiannya dalam keadaan mabuk karena racun. Dengan mudah nelayan menangkap ikan hias yang berharga ini dan
memasukkan ke dalam jaring.

Cara baru tersebut membuat perdagangan ikan hias pada waktu itu berkembang cepat. Nelayan, merasa gembira dengan kesuksesan mereka, tanpa menyadari bahwa dampak dari teknik tersebut dapat berakibat buruk pada kesehatan mereka dan kesehatan sumber daya laut dimana mereka menangkap ikan hias.

”Para nelayan menggunakan potas karena cara itu gampang untuk menangkap ikan hias,” kenang Indrawati saat dia dan kawan-kawannya dari Lembaga Pilang mulai bergerak beberapa tahun lalu untuk menyadarkan masyarakat nelayan mengenai bahaya penggunaan potas itu pada terumbu karang. 

Upaya Indrawati sungguh tidaklah mudah. Di Kabupaten Buleleng diperkirakan ada sekitar 500 nelayan yang hidupnya tergantung pada usaha perdagangan ikan hias. Dan bertahun-tahun terbiasa menggunakan cairan beracun itu untuk menangkap ikan hias. Lambat laun, penggunaan sianida menyebabkan terumbu karang menjadi putih dan lama-kelamaan akhirnya mati.

Padahal terumbu karang adalah habitat atau tempat hidup ikan hias serta biota laut lainnya, tempat mereka makan dan berkembang-biak. Dengan matinya terumbu karang, maka sudah pasti berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya akan musnah. Akibat dari menurunnya jumlah ikan hias maka nelayan ikan hias terpaksa mencari ikan hias ke tempat yang jauh dan mulai merusak lebih banyak lagi terumbu karang, di tempat-tempat terpencil dan belum tersentuh.

Cara merusak ini tidak hanya berakibat pada kehidupan nelayan, karena mereka harus berlayar lebih jauh dan lebih lama dengan lebih banyak biaya untuk menemukan ikan hias, namun masyarakat setempat yang hidupnya tergantung pada terumbu karang juga merasakan dampak hilangnya terumbu karang.

Setelah bertahun-tahun terkena sianida maka tidaklah mengherankan apabila kemudian kondisi terumbu karang di sepanjang 144 kilometer pesisir Kabupaten Buleleng menjadi rusak dan memprihatinkan. Kelimpahan dan jenis ikan yang semula melimpah menurun secara drastis hampir tidak meninggalkan sisa.

Kondisi ini masih diperparah oleh ulah nelayan ikan konsumsi yang mencari ikan dengan menggunakan ledakan bom. Hanya dibutuhkan beberapa menit untuk merusak terumbu karang, namun memerlukan puluhan tahun bagi terumbu karang untuk pulih
kembali.

Lembaga Pilang kemudian dibantu oleh LEAD International, sebuah LSM lingkungan dan PT Indonesia Power lantas melakukan upaya bersama untuk menghentikan cara penangkapan ikan hias yang merusak ini di Kabupaten Buleleng. Dimulai April 2005 sampai April 2008, dimulailah pendekatan baru untuk melindungi terumbu karang kepada nelayan ikan hias di Kabupaten Buleleng.

Ketika pertama kali diluncurkan, tak sedikit masyarakat yang pesimis dan bahkan apatis. Bukan perkara mudah mengajak nelayan untuk menerapkan standar penangkapan ikan hias yang ramah lingkungan. Mengapa? Karena praktek ini tidak memberikan dampak ekonomi secara langsung bagi para nelayan.

Menangkap ikan hias dengan cara ramah lingkungan (eco fish) butuh waktu lebih lama, teknik lebih sulit, tetapi yang diperoleh lebih sedikit. Harga ikan hias eco fish juga tidak lebih tinggi dari ikan hias yang ditangkap dengan sianida. Desakan ekonomi keluarga dan terbatasnya akses masyarakat terhadap jenis pekerjaan lain telah menjebak mereka dalam praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak.


Meski begitu, Indrawati pantang berputus asa. Dia terus bekerja tak kenal henti, melakukan pendekatan ke tokoh masyarakat dan nelayan yang merupakan tetangganya sendiri. Dengan dibantu oleh sejumlah teman-temannya yang seide di Lembaga Pilang serta dukungan dari Marine Aquarium Council (MAC) dan Yayasan Reef Check dia terus melakukan upaya tak kenal lelah menyelamatkan habitat laut di Kabupaten Buleleng, khususnya di Kecamatan Gerogak. 

Lembaga Pilang menggelar berbagai pelatihan bagi nelayan ikan hias tentang cara tangkap ramah lingkungan (menggunakan jaring dan teknik tertentu, non kimia), menyadarkan mereka tentang bahaya penggunaan potas yang mematikan terumbu karang serta memperkenalkan bank ikan (stok ikan hias yang dimonitor secara rutin).

Hasil akhir dari kegiatan ini adalah kesadaran baru di masyarakat desa Sumber Kima, Pejarakan dan Penyabangan, kecamatan Gerogak, tentang pentingnya perikanan berkelanjutan. Mereka segera menghentikan cara tangkap destruktif, dan beralih ke cara ramah lingkungan.

Masyarakat di tingkat desa memiliki lembaga pengelola sumber daya laut dan pesisir di tiap desa, yang berfungsi memonitor kegiatan penduduk agar tetap menjaga laut mereka, serta berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik yang berkaitan dengan kehidupan nelayan. Selain itu dibentuk kelompok nelayan ikan hias ramah lingkungan yang mempunyai komitmen menerapkan cara penangkapan eco fish.

Sebanyak 218 nelayan telah mendapatkan sertifikasi sebagai nelayan ikan hias ramah lingkungan dari wilayah kabupaten Buleleng. Pada akhir proyek ini nelayan ikan hias telah mendapat bantuan dana dari PT Indonesia Power, melalui koperasi Wana Agung, untuk mengembangkan usaha dagang ikan hias eco-fish. ”Sasaran program CSR PT Indonesia Power memang untuk memajukan perekonomian lokal, kapasitas lokal, dan menggali kemampuan lokal,” kata I Wayan Sumanta dari PT Indonesia Power kepada Eksplo.

Nelayan ikan hias di desa Penyabangan tidak sulit membuktikan bahwa cara penangkapan ramah lingkungan membawa kembali ikan hias yang semula sudah lama berkurang jumlahnya. Ikan hias tambak kuncir (Symphorithys spirulu), bara kuda (Sphiraena barracuda) dan piama (Pomacanthus navarchus) telah muncul kembali. Ni Made Indrawati dan teman-teman dari Lembaga Pilang serta mitra mereka, kalangan nelayan di Kecamatan Gerokgak pantas berbangga.

Upaya tak kenal lelah yang dilakukan selama tiga tahun terakhir terbukti membawa hasil. Hal ini juga dibuktikan dari hasil survey terakhir dari berbagai lembaga dimana keragaman jenis ikan hias dan jumlah (abundance) ikan hias di wilayah kecamatan Gerogak telah meningkat. Meski belum sebanyak dulu, tetapi ini merupakan sebuah langkah awal menuju masa depan yang lebih baik.

 

Minggu, Maret 18, 2012

Menanggulangi Bencana, Menggandeng Media

Merakit perahu karet dari nol sampai siap dinaiki
Iwan Samariansyah

Selama tiga hari, mulai Selasa (13/3) hingga Kamis (15/3) lalu dua wartawan Jurnal Nasional diundang oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mengikuti pelatihan praktis tentang proses-proses menangani bencana nasional di Lido, Bogor. Pelatihan selama tiga hari dua malam itu sungguh melelahkan para peserta yang seluruhnya para jurnalis, namun sungguh bermakna.

Memori berbagai bencana di tanah air, mulai dari peristiwa tsunami Aceh 2004, Gempa Bumi Yogyakarta 2006, gempa Bumi Padang 2009 serta Banjir Badang Wasior 2010 adalah beberapa peristiwa bencana tidaklah sekedar kisah duka. Ia juga menyuguhkan kisah-kisah kepahlawanan dari bilik-bilik tenda pengungsi maupun dari tempat penampungan lainnya.

Penanganan dan penanggulangan bencana tersebut menjadi pengetahuan yang harus diketahui banyak orang. Itu pula sebabnya, pelatihan itu disambut dengan antusias oleh para awak media baik media cetak maupun elektronik.Tidak kurang dari 141 jurnalis dari 86 media mengirimkan awak redaksinya mengikuti pelatihan bertajuk"Peningkatan Kapasitas Wartawan dalam Penanggulangan Bencana" itu.

Media massa, sebagaimana diakui oleh Kepala BNPB Syamsul Maarif merupakan mitra kerja yang penting bagi BNPB. Kecepatan dan ketepatan aksi tanggap darurat pada saat bencana terjadi membutuhkan informasi yang tepat. Bukan sekedar berita penyaluran bantuan pasca bencana kepada pengungsi, namun juga strategi aksi kemanusiaan lainnya terkait rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tidak kalah pentingnya.

Bersama Sutopo, adik kelas di FGE UGM, jubir BNPB
"Media punya perang penting untuk menyampaikan informasi pada masyarakat karena jangkauannya yang luas sehingga bisa menyelaraskan aksi-aksi cepat tanggap terhadap bencana yang terjadi," kata Syamsul saat membuka acara pelatihan tersebut pada Selasa (13/3) malam lalu di Lido Lakes Resort, Bogor, Jawa Barat.

Hari pertama banyak diisi dengan ceramah dan diskusi mengenai berbagai hal mengenai masalah penanggulangan bencana di tanah air. Sejumlah pejabat BNPB tampil memberikan materi yang mendapat tanggapan ramai dari para peserta pelatihan. Hari pertama pelatihan telah membuka mata media tentang kondisi nyata Indonesia, dampak-dampaknya, serta cara rehabilitasi dan rekonstruksi, bila kemudian bencana tersebut terjadi sesungguhnya.

Para peserta para jurnalis pria dan wanita tampak antusias selama mengikuti pelatihan mulai dari manajemen penanggulangan bencana, mengenal katekteristik bencana, kesiapsiagaan dan pencegahan, mitigasi bencana, tanggap darurat pasca bencana serta  logistik dan peralatan. Diberikan juga materi komunikasi dalam penangggulangan bencana.

Namun pelatihan yang sesungguhnya, berlangsung pada hari kedua ketika sejumlah praktik lapangan dilakukan. Agar berlangsung efektif, para jurnalis kemudian dibagi menjadi empat kelompok besar beranggotakan masing-masing 25 - 30 jurnalis. Ditandai dengan empat warna : biru, merah, kuning dan hijau dengan nama-nama kelompok bencana : gempa bumi, tsunami, gunung api dan banjir.

Tim Tsunami - Merah, tempatku bergabung
Para jurnalis diajarkan pula bagaimana mendirikan tenda darurat dalam waktu kurang dari setengah jam, praktik memasak di dapur umum, memahami teknologi penjernihan air, operasi SAR, pertolongan pertama pada korban bencana alam, trauma healing dan mengenal mobil komunikasi yang dimiliki BNPB.

Menurut Kapusdatin Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pelatihan manajemen bencana untuk wartawan merupakan terobosan mengingat media massa memerankan penting dalam penanggulangan bencana. Media mampu mempengaruhi keputusan politik, mengubah perilaku dan menyelamatkan nyawa manusia.


"Peningkatan kapasitas wartawan dalam penanggulangan bencana diperlukan agar wartawan memiliki pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman secara komprehensif. Dengan adanya pengetahuan bencana maka wartawan ketika meliput bencana dapat memberitahukan bencana secara lebih baik," ujar alumni Fakultas Geografi UGM itu di sela-sela acara pelatihan.

Tidak heran bila selama pelatihan ini maka semboyan yang terus diulang-ulang adalah semboyan ”Tangguh”. Yaitu keinginan bagi BNPB dan para jurnalis serta masyarakat pada umumnya bahwa Indonesia tangguh dalam menghadapi bencana dalam bentuk apapun. Pelatihan ini merupakan awal yang baik agar media memahami bahwa tugas mengatasi bencana di tanah air merupakan tanggung jawab semua pihak. 

* Dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi Senin, 19 Maret 2012 halaman 9 rubrik Kesra