Rabu, September 15, 2010

Mengembangkan Pembangkit Mini Panas Bumi

Dengan potensi sumber panas bumi yang luar biasa besarnya, PLTP mini layak dikembangkan sebagai pengganti utama PLTD.


BPPT berhasil mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang mobile dan efisien. Diproyeksikan PLTP mini ini bisa dimanfaatkan untuk memenuhi tenaga listrik daerah terpencil dengan kebutuhan listrik di bawah 10 MW. Lebih ekonomis dan siap menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel. Penghematan BBM-nya mencapai Rp 1,1 trilyun per tahun.

PLTP mini milik BPPT itu telah berhasil diuji coba di lokasi sumur injeksi panas bumi Wayang Windu, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu. Penerapan teknologi ini berpotensi menggantikan ratusan generator diesel berbahan bakar solar yang ditempatkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di berbagai daerah terisolasi di Tanah Air.

Kapasitas generator diesel yang bisa digantikan oleh PLTP mini tersebut dari hasil uji coba mencapai 300 juta watt. ”Jika menggunakan bahan bakar solar, harganya sangat mahal. Jika menggunakan PLTP mini ini, jauh lebih murah dan ramah lingkungan,” kata Kepala Proyek PLTP Binary Cycle BPPT Taufan Suryana kepada Eksplo yang menemuinya di kantornya, awal Juli lalu.

Menurut Taufan, hasil uji coba ini akan disampaikan kepada pemerintah agar menjadi pertimbangan perubahan kebijakan program Desa Mandiri Energi dengan mengoptimalkan potensi energi lokal panas bumi. Sebab, pemanfaatan panas bumi hingga kini masih terlampau rendah, baru mencapai 1.056 megawatt (MW) atau hanya empat persen dari potensi yang ada sebesar 27.000 MW.

Peneliti BPPT bidang konversi dan sistem energi itu menambahkan, nilai keekonomisan memproduksi listrik dengan PLTP mini jauh lebih rendah dari pembangkit listrik tenaga diesel berbahan bakar solar. Biaya produksi listrik dari PLTP ini berkisar Rp 800 per kilowattjam (kWh), sedangkan dengan generator solar mencapai Rp 2.000 per kWh. PLTP mini berkekuatan 2.000 watt yang masih berbentuk prototipe itu diuji coba selama sepekan di lokasi, dan berhasil bekerja dengan baik.

Taufan mengatakan bahwa pembangkit tersebut nantinya akan disempurnakan lagi sehingga bisa memenuhi harapan berbagai pihak. Semua komponen PLTP mini berukuran 2x2 meter tersebut merupakan kreasi ahli-ahli BPPT. ”Komponen utamanya kami bikin sendiri. Kami berharap apa yang kami lakukan ini akan menginspirasi pemerintah, khususnya Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memenuhi listrik daerah terpencil,” ujarnya.

Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan daerah terpencil paling sedikit dibutuhkan pembangkit dengan daya antara 2 – 5 MW. Bandingkan hal ini dengan PLTP skala besar yang skala ekonomis tercapai bila bisa menghasilkan daya lebih dari 110 MW. ”Karena itulah kita sebut PLTP mini karena meski daya listrik yang dihasilkan kecil, tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Khususnya di kawasan terpencil,” kata dia.

Saat uji coba dilakukan akhir 2008 lalu, PLTP mini BPPT berkapasitas produksi listrik 2.000 watt itu menggunakan air panas bumi daur ulang. Air panas itu merupakan hasil penggunaan panas bumi yang digunakan sebelumnya untuk PLTP Wayang Windu, berkapasitas besar mencapai 110 juta watt atau 110 MW. PLTP Wayang Windu sendiri pada Maret 2009 telah ditingkatkan kapasitasnya menjadi 220 MW.

Koordinator Lapangan Uji Coba PLTP Mini BPPT, Suyanto, mengatakan, teknologi pemanfaatan kembali panas bumi yang disebut siklus biner ini menggunakan air panas bumi dengan suhu rendah 110 derajat celsius. Semula air panas bumi ini langsung diinjeksikan kembali ke dalam tanah melalui sumur dengan kedalaman sampai 1.500 meter.

”Dari total buangan air panas bumi yang akan diinjeksikan kembali ke dalam tanah mencapai 270 ton per jam, ini berpotensi menghasilkan kembali 8-10 megawatt listrik. Tentu generator yang dibuat harus lebih besar dari prototipe ini,” kata Suyanto.

Peluang untuk membangun PLTP di daerah, kata Taufan lagi, cukup terbuka. Indonesia sangat kaya dengan energi panas bumi sebagai sumber daya alam. Dia menunjuk beberapa provinsi seperti NTB, NTT, Maluku dan Sulawesi Tengah sebagai daerah yang paling siap memanfaatkan teknologi tersebut. ”Masa penggunaan teknologi PLTP mini bisa mencapai 25 tahun,” katanya.

Total energi panas bumi di Indonesia saat ini adalah 27ribu MW atau 40 persen dari potensi panas bumi dunia. Hanya saja, sumber panas bumi itu tidak semuanya memenuhi syarat untuk PLTP konvensional atau skala besar yang dayanya mencapai 110 MW tadi. Sebab, pembangkit skala besar membutuhkan suhu 240 derajat celcius. Ternyata untuk PLTP mini, suhu rendah tidak menjadi masalah.

PLTP mini benar-benar menjadi solusi praktis untuk pengembangan panas bumi di Indonesia, sebab cukup banyak sumber panas bumi yang suhunya kurang dari 240 derajat celcius. Bahkan, sebagaimana yang dilakukan pada uji coba PLTP mini tadi, air buangan dari PLTP besar yang suhunya masih sekitar 180 derajat celcius masih bisa digunakan PLTP mini. Karenanya PLTP mini itu menggunakan teknologi binary cycle.

Selain itu karena ukurannya yang kecil, PLTP mini ini juga bersifat mobile, sehingga bisa dipasang di manapun. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang mahal dan boros itu bisa digantikan dengan PLTP mini. ”Jika tujuannya menggantikan PLTD maka PLTP ini amat ekonomis,” kata Taufan. Alasannya, harga listrik dari pembangkit diesel adalah Rp 2.500,- hingga Rp 3.000,- per kwH. Sedangkan dari pembangkit mini panas bumi paling mahal Rp 1.000,-.

Menurut Taufan, prinsip kerja PLTP skala besar adalah : sumur produksi menghasilkan uap dan air panas yang dikirimkan ke separator. Separator berfungsi memisahkan fluida air panas dan fluida uap. Dari separator, uap dialirkan untuk memutar turbin, sedangkan air panas diinjeksikan ke dalam bumi. Nah, panas yang masih cukup tingi itu – berupa air dan uap – mengalir ke evaporator. ”Fungsinya menguapkan hidrokarbon yang akan masuk ke turbin,” kata Taufan.

Uap hidrokarbon itu untuk menggerakkan turbin. Selesai bekerja, uap hidrokarbon pemutar turbin diembunkan dengan kondensor. ”Di situ ada air pendinginnya,” katanya.
Hidrokarbon yang telah mencair dipompa ke evaporator. Terpanaskan lagi menjadi uap untuk menggerakkan turbin. Proses ini terus berulang. Itulah yang disebut binary cycle (siklus biner). Namun, kalau misalnya tidak ada buangan dari PLTP besar, maka PLTP mini bisa langsung menggunakan sumur kecil. ”Jika suhu yang keluar dari sumur geothermal itu 100 derajat saja, maka itu sudah bisa digunakan,” katanya.

Satu hal lagi yang menarik, PLTP mini ini juga tidak butuh sumur geothermal yang dalam sebagaimana PLTP skala besar. Jika PLTP skala besar butuh mengebor sumur hingga kedalaman 2.500 meter, maka PLTP mini cukup 500 meter saja. Pengeboran sumur inilah salah satu persoalan besar bagi pembangunan PLTP skala besar karena biayanya sangat mahal. Bayangkan potensi penghematan yang bisa diwujudkan bila PLTP mini dan mobile ini dikembangkan di tanah air.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 27 Tahun 2009



Siapkan PLTP Mini 100ribu Watt

SUKSES dengan uji coba protipe PLTP mini dengan daya 2.000 watt membuat Taufan dan kawan-kawan di BPPT bertekad mewujudkan PLTP mini dengan daya yang lebih besar, yaitu dengan daya 100ribu Watt. Ini merupakan langkah antara sebelum pada akhirnya membuat PLTP mini dengan daya 1 MW. Bila pembangkit 1 MW ini terealisir, maka impian untuk menggantikan PLTD berbahan bakar solar akan terwujud.

Biaya pembuatannya memang agak mahal bila dibandingkan dengan PLTP skala besar. Bila PLTP skala besar menghabiskan biaya US$1,8 juta-US$2 juta per MW, maka untuk PLTP mini, dibutuhkan dana sebesar US$2 juta-US$3 juta per MW. Karena itu, untuk membangun PLTP mini dibutuhkan investor yang berani berkorban. Tetapi bila sudah berjalan, PLTP tetap saja menjadi peluang yang menguntungkan.

Penerapan teknologi PLTP mini memang berbeda dengan PLTP skala besar. Perbedaan utama adalah pada suhu yang dibutuhkan untuk memutar turbin pada pembangkit listrik. PLTP mini karena menggunakan tenaga panas bumi dengan suhu rendah maka hanya bisa memproduksi listrik dengan kapasitas kecil, berkisar 2-5 megawatt. Pemanfaatan energinya berbeda dengan panas bumi temperatur tinggi (sekitar 250 derajat Celsius).

Pada temperatur tinggi, panas bumi dapat menghasilkan uap yang langsung menggerakkan turbin pada generator. Ketika temperaturnya rendah, panas bumi yang ada digunakan untuk mempengaruhi fluida, biasanya berupa amonia ditambah air dan normal pentana. Fluida itu mudah menguap akibat temperatur relatif rendah sehingga kinerjanya dipakai untuk menggerakkan turbin listrik.

Yang menarik adalah kemungkinan menggunakan uap lumpur panas yang ada pada genangan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Lumpur panas yang muncul di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas dengan suhu berkisar 60 derajat Celsius itu semestinya juga memungkinkan untuk bisa digunakan bagi prototipe PLTP mini dari BPPT tersebut. Bila itu terwujud maka jelas ini merupakan terobosan besar.

Bila pemerintah serius mengadopsi teknologi ini, maka ada dua perusahaan yang mampu menjadi mitra strategis dalam mengembangkan PLTP mini tersebut yaitu PT Pindad dan PT Nusantara Turbin Propulsi (NTP), anak perusahaan PT Dirgantara Indonesia. Pihak NTP sendiri pada satu kesempatan pernah menyatakan kesanggupan mereka memproduksi pembangkit dengan daya 3-5 megawatt.

Memang, teknologi yang diuji coba di Wayang Windu masih sederhana. Hanya saja, dengan kerjasama semua pihak, termasuk juga dalam soal pendanaan maka ke depan nanti, industri dalam negeri bisa mengembangkannya lebih jauh. Apalagi komponen utama untuk PLTP mini tersebut bisa diproduksi sendiri. Karena itu, risetnya harus terus dikembangkan dan ditunjang dengan kebijakan pemerintah.  

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 27 Tahun 2009

Selasa, September 14, 2010

Sejumlah Kontrak Migas Berakhir Tahun Depan


Kontrak kerja pengelolaan blok minyak dan gas (migas) di sejumlah wilayah di Indonesia oleh operator asing berakhir masa berlakunya pada 2011. Oleh sebab itu, Ketua Komite Organisasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Ridwan Hisjam, mengingatkan pemerintah terkait berakhirnya masa kontrak blok migas tersebut.

”Beberapa di antaranya yang habis masa berlakunya pada 2011 adalah Kodeco Energy dan Conoco Philips. Kalau tidak salah, keduanya akan habis kontraknya di West Madura Offshore pada Maret 2011,” katanya di Surabaya, baru-baru ini. 

Selanjutnya dia mendesak BP Migas untuk bersikap proporsional dengan memberikan ruang dan kesempatan yang lebih besar kepada perusahaan nasional untuk menjadi operator migas. ”Meskipun sudah ada aturan tentang keterlibatan pemerintah daerah melalui konsep `participating interest` sebesar 10 persen, kepemilikan saham lebih besar atas pengelolaan blok migas melalui proses tender perlu diperjuangkan,” kata anggota Komisi Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral DPR periode 1999-2004 itu.

Ridwan menambahkan bahwa keberadaan investor atau operator migas asing tetap diberi ruang, namun diupayakan tidak sebesar yang sebelumnya.”Kalau kita mampu, kenapa mesti melibatkan operator migas asing? Kapan menjadi bangsa mandiri, kalau terus begini. Pemerintah perlu memberdayakan BUMD, kecuali kalau kita lebih suka hanya sebagai penonton dalam proses eksplorasi maupun eksploitasi,” kata Wakil Ketua DPRD Jatim periode 2004-2009 itu.

Menurut dia, yang paling mendesak untuk diberikan kepada perusahaan nasional atau perusahaan daerah adalah pengelolaan "West Madura Offshore" setelah kontrak kedua perusahaan asing tersebut berakhir pada Maret 2011.

Sementara itu, staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Mohammad Nafik Hadi Riandono, berpendapat, sikap tegas pemerintah terkait proses nasionalisasi kawasan migas yang habis masa kontraknya perlu dilakukan secara bertahap."Kebijakan ini perlu dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan. Namun mesti segera dimulai karena sebenarnya operator migas nasional banyak yang telah memiliki pengalaman," katanya.

Dia menambahkan, sikap tegas atas keterlibatan operator asing sebenarnya telah dilakukan pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).”Waktu itu Gus Dur pernah memutuskan kontrak operator migas Caltex di Riau dan menyerahkan pengelolaannya kepada PT Pertamina dan Pemprov Riau dengan komposisi masing-masing 50 persen tanpa keterlibatan asing. Sikap ini sangat ditunggu dalam pemerintahan saat ini,” katanya.

Dikutip dari Kantor Berita Antara

Selasa, September 07, 2010

Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas

Tuntut Bagi Hasil yang Lebih Adil

Inilah dia organisasi yang lahir sebagai buah dari kebijakan otonomi daerah di era reformasi. Menghimpun sejumlah daerah penghasil migas di Indonesia.

SEJAK bergulirnya soal otonomi daerah seiring dengan tibanya era reformasi pada 1998, maka berbagai kebijakan di jaman orde baru yang tadinya diterima dengan pasrah mulai digugat. Saat itu, muncul kegelisahan dari sejumlah daerah penghasil minyak dan gas bumi di tanah air.

Para pemimpin daerah itu : Gubernur, Bupati dan Walikota merasakan sesuatu yang kurang wajar dalam soal bagi hasil migas. Saat itu tercatat ada 80 daerah penghasil migas di tanah air. Semua merasa senasib. Maklumlah, pada jaman orde baru, daerah tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ditentukan oleh pemerintah pusat.

Daerah hanya bisa pasrah menerima berapapun yang diberikan oleh pemerintah pusat dari perolehan dana dari sektor migas. Inilah yang kemudian menjadi latar belakang terbentuknya komunitas para pemimpin daerah bernama Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) tersebut.

”Spirit otonomi daerah dan soal keadilan dalam bagi hasil migas itulah yang mendorong terbentuknya FKDPM pada 2001,” ujar Muliana Sukardi, Direktur Eksekutif FKDPM kepada Eksplo, Rabu (20/5) lalu.

Begitulah. Era otonomi daerah telah melahirkan semangat baru. Daerah juga ingin mengetahui darimana dan berapa sebenarnya dana bagi hasil yang wajar diterima oleh daerah dari sumber daya alam yang secara kebetulan ada di wilayahnya. ”Pertemuan pertama terjadi di Cikarang dan semua sepakat agar soal bagi hasil migas harus dijalankan secara transparan, terbuka dan berkeadilan,” kata Muliana.

Gagasan itu lantas digulirkan dalam berbagai asosiasi tempat berhimpunnya sejumlah kepala daerah. Saat itu ada asosiasi para Gubernur yang disebut APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia), kemudian asosiasi para Bupati yang berkumpul dalam BKKSI (Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia). Dulunya BKKSI ini bernama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Kemudian para Walikota yang berhimpun dalam APEKSI (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia).

Adapun lembaga para wakil rakyat di tingkat kabupaten dan kota berhimpun dalam ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia) dan ADEKSI (Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia). Gagasan tentang perlunya bagi hasil sumber daya alam bagi daerah penghasil gas yang lebih adil itu tentu saja disambut antusias. ”Maklumlah. Banyak yang selama ini merasa cuma menjadi sapi perah,” ujarnya.

Kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memang patut disyukuri. Ini membuat banyak pemerintah daerah bisa lebih banyak berkreatifitas dalam menjalankan pembangunan di daerahnya sesuai amanat undang-undang. Kedua Undang – Undang ini termasuk salah satu buah positif gerakan reformasi.

Namun begitu, dalam soal bagi hasil migas tampaknya pemerintah pusat kurang cepat melakukan pembaharuan aturan yang ada. Padahal masa sentralistik telah lewat, sehingga wajar kalau semua daerah penghasil migas kecewa terhadap Pemerintah Pusat. Eranya sudah baru, tetapi peraturan yang dijalankan masih memakai yang lama, dengan pola yang sentralistik.

Kekecewaan itu bukan saja terhadap besarnya perimbangan keuangan tetapi juga terhadap sistem pengelolaan, sistem perhitungan bagi hasil, sistem pembagian bagi hasil, sistem pajak, sistem pengelolaan community development, dampak pencemaran, dampak ekonomi, sosial budaya, keamanan  dan lain sebagainya.

Masing – masing baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota mencoba berdialog melalui berbagai cara dengan pemerintah pusat. Dalam hal ini ke instansi terkait yaitu Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan BP MIGAS. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan sistem dan kebijakan yang ada berkaitan dengan soal bagi hasil migas.

”Namun ternyata berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dilakukan, masih belum juga berhasil. Perjuangan menuntut bagi hasil migas agar lebih adil dan seimbang ini sangat berat sehingga rasa–rasanya tidak mungkin dilakukan sendiri–sendiri,” kata Muliana.

Dan akhirnya, salah satu pemimpin daerah penghasil migas di Jawa Barat yakni Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin memprakarsai menyempurnakan dialog dengan Pemerintah Pusat secara bersama – sama melalui suatu wadah. Akhirnya digelarlah rapat para gubernur, bupati, walikota daerah penghasil migas di Hotel Borobudur, Jakarta pada 6 September 2001. ”Ada 80 kepala daerah yang berkumpul saat itu,” kata Muliana.

Hasil akhirnya dibentuk satu tim perumus yang beranggotakan 10 orang kepala daerah. Mereka adalah H. Badrun A. Saleh (a.n Gubernur Riau), Decky Kawab, SH (Gubernur Papua), H. Irianto MS Syafiuddin (Bupati Indramayu), Ir. H. Irfan N. Djafar (Bupati Lampung Timur), H. Achmad Dadang (Bupati Karawang), Ir. HM. Zuher Effendi (a.n. Bupati Musi Banyuasin), Ir. H. Syarifuddin N. (Bupati Lahat), Syaharie Jaang (a.n. WaliKota Samarinda), Prof. DR. Ir. Djoko Santoso, MSc (mewakili ITB) dan Drs. Achmad Setiawan (Ketua LSM INPEC).

Tim perumus akhirnya memberi nama wadah tersebut Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM). Organisasi ini kemudian disahkan berdasarkan akta pendirian No. 4/2001, tanggal 31 Oktober 2001 oleh Notaris Herdimansyah Chaidirsyah, SH di Jakarta.

Kemudian panitia segera mempersiapkan Rapat Lanjutan yang diselenggarakan tanggal 13 September 2001 di tempat yang sama. Hasil rapat tersebut menyepakati dibentuknya Tim Formatur yang terdiri dari : H. Irianto MS Syafiuddin (Bupati Indramayu), H. Syamsul Arifin (Bupati Langkat), Drs. Kasmir (yang mewakili Bupati Sorong), Drs. Achmad (yang mewakili Gubernur Riau), Ir. Irfan N Djafar (Bupati Lampung Timur), Arwin AS, SH (Bupati Siak) dan H. Almalik Pababari (Bupati Mamuju). Terpilihlah H Irianto MS Syafiuddin, Bupati Indramayu sebagai Ketua Umum FKDPM periode 2001 – 2005.

Dengan adanya wadah tersebut, perjuangan mendapatkan bagi hasil yang lebih adil bagi daerah bisa lebih terkoordinasi. Posisi tawar daerah terhadap pemerintah pusat semakin kuat. Dan akhirnya memang membuahkan hasil yang baik pula. Pemerintah pusat akhirnya setuju untuk membuka kran bagi hasil bagi daerah-daerah penghasil migas.  Kesepakatan itu kemudian dijalankan hingga kini.

Besaran dana bagi hasil yang disetujui pemerintah pusat itu adalah sebesar 15 %, yang terdiri dari 6 persen untuk daerah kabupaten penghasil migas, 6 persen bagi kabupaten lain non penghasil migas di wilayah provinsi tersebut dan 3 persen sisanya untuk pemerintah provinsi. Meski kurang puas dengan besaran bagi hasil itu, mereka akhirnya menerima ketentuan dari Departemen ESDM itu.

”Perjuangan kita yang ada di FKDPM adalah agar besaran bagi hasil tersebut bisa ditambah pada masa mendatang. Ini semua karena daerah masih memerlukan dana yang besar untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing,” kata Alex Nurdin, Gubernur Sumatera Selatan yang terpilih menjadi Ketua Umum FKDPM periode 2005-2009.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009


Ingin Kelola Sumur Tua

Mengelola sumur tua ? Jangan salah sangka. Yang dimaksud sumur tua disini adalah sumur minyak. Dan para anggota FKDPM menyatakan mampu mengelola sumur-sumur tua setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008 tentang pedoman pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua.

Ketua Umum Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM), Alex Noerdin menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) siap mengelola pertambangan minyak bumi pada sumur-sumur tua. Sumur-sumur tua itu masih banyak tersebar diseluruh negeri ini. ”Daerah telah siap untuk itu. Jangankan sumur tua, lapangan migas yang baru pun juga siap,” katanya, beberapa waktu lalu.

Dalam Permen itu memang disebutkan bahwa KUD dan BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi. Permen ini sekaligus menghapus Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1285.K/30/M.PE/1996 tertanggal 26 Agustus 1996 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada sumur-sumur tua karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi.

Dalam Permen No 1/2008, yang termasuk sumur tua yakni sumur yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh kontraktor.

Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kini bisa ikut terlibat dalam proses produksi minyak dari sumur tua dengan bekerja sama melalui Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas.

Sesuai aturan, KUD dan BUMD dapat mengajukan permohonan kepada KKKS. Baik KUD maupun BUMD nantinya harus menyerahkan hasil produksi minyak mereka kepada KKKS untuk kemudian mendapat persetujuan BP Migas.

Menurut Gubernur Sumatera Selatan itu, pengelolaan oleh daerah seperti BUMD, tentunya akan berdampak positif terhadap perkembangan daerah  yakni dapat membuka lapangan pekerjaan, berkembangnya usaha sektor formal maupun informal sehingga pada akhir pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pembangunan di wilayahnya.

Sekali lagi ditekankannya, pengelolaan sektor migas oleh BUMD bukanlah pemberian tapi memang daerah punya hak untuk mengelolanya. ”Ini (pengelolaan) sumur minyak bukan “charity” (derma), tapi hak daerah untuk mendapatkannya,” kata Alex yang juga mantan Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan itu.

Dengan pengelolaan oleh daerah, kata dia, maka hasil usaha tersebut akan masuk ke kas daerah. Berarti, pendapatan daerah akan meningkat sehingga yang untung masyarakat kita. ”Coba kalo semuanya dikasih asing, keuntungannya akan masuk ke mereka (asing). Kan yang berjalan selama ini begitu,” kata dia.

Ketika ditanya apakah daerah benar-benar siap baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), teknologi hingga pendanaannya, dia pun menjawab singkat bahwa itu bukan masalah.

Dijelaskannya, SDM yang dimiliki Indonesia di bidang perminyakan sangat banyak dan profesional, juga teknologi, telah mampu dikuasainya. Sementara soal dana sudah banyak pihak yang bersedia untuk mendukung kegiatan tersebut.

Ia mencontohkan, Petro Muba – BUMD di Kabupaten Musi Banyuasin - secara SDM, teknologi maupun pendanaannya sudah siap dan dalam waktu dekat ini ada sejumlah sumur tua yang akan dikelolanya.
Dijelaskannya, terdapat sekitar 400 sumur tua di wilayah Musi Banyuasin yang antara lain dimiliki oleh Pertamina dan ConocoPhilips. sumur-sumur tersebut kalau dikelola dengan baik berpotensi menghasilkan sekitar 1.000 barel per hari. ”Ini cukup besar dan tentunya berpotensi meningkatkan pendapatan daerah,” ungkapnya.

Dari data yang ada di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi sebanyak 5.000 dari 13.824 sumur minyak tua yang tersebar di Indonesia akan diaktifkan kembali untuk diproduksi. Diperkirakan 5.000-12.000 barel per hari (bph) dapat dihasilkan dari pengaktifan tersebut.

Sumur-sumur tua ini, bila bisa dioptimalisasi maka memiliki potensi menghasilkan minyak yang cukup baik. Dari 13.824 sumur tua, 745 di antaranya aktif, sedangkan 13.079 tidak aktif. Sumur-sumur tua tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Antara lain, 3.623 di Sumatera bagian selatan, 3.134 di Kalimantan Timur, 2.496 di Jawa Tengah, Timur, dan Madura, 2.392 di Sumatera bagian utara, dan 208 di Papua.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009


DBH Sering Terlambat




ADA satu hal yang menjadi keluhan pihak FKDPM. Pemerintah pusat kerap terlambat mencairkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang menjadi hak daerah penghasil migas tersebut, terkadang tanpa penjelasan yang memadai. Padahal, Depkeu sudah berjanji untuk tidak lagi terlambat membayar dana itu. Alhasil, pembangunan di daerahpun menjadi tersendat-sendat dan tidak sesuai rencana.

Ketua FKDPM yang juga Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin, mengeluhkan hal ini pada berbagai kesempatan. Kata Alex, FKDPM bakal mengadukan kinerja Depkeu yang masih telat itu kepada DPR. Ia menilai Depkeu ingkar janji.

Keterlambatan pembayaran DBH itu mencapai tiga bulan. DBH harusnya disetor dari kas negara ke daerah tiap tiga bulan sekali. '”Dulu pusat janji tidak terlambat lagi, tapi nyatanya keterlambatan ini sangat parah, tiga bulan terlambatnya, ini sangat mengganggu daerah,” keluh Noerdin.

Keterlambatan DBH dinilai membuat pembangunan di daerah tidak berjalan lancar. Dana yang harusnya bisa dialokasikan untuk triwulan I, misalnya, baru dibayarkan pada triwulan II dan begitu juga bila dana itu digunakan untuk triwulan II, baru diberikan di triwulan III. Keterlambatan DBH juga diklaim mengganggu APBD.

”Ini sangat mengganggu daerah untuk pembangunan, arus kas daerah terganggu apalagi saat ini lifting (minyak) turun dan penerimaan (migas) turun,” sambung dia.

Berdasarkan aturannya di UU Nomor 33 tahun 2004, DBH minyak bumi setelah dikurangi komponen pajak adalah 84,5 persen untuk pusat dan sisanya 15,5 persen untuk daerah. Untuk daerah ini terbagi lagi atas tiga persen untuk provinsi yang bersangkutan, enam persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan enam persen untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

Selain itu, masih ada tambahan 0,5 persen yang dipecah lagi dalam 0,1 persen untuk provinsi, 0,2 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 0,2 persen untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Dana ini digunakan untuk membiayai pendidikan.

Prosedur penghitungan DBM migas dilakukan secara triwulanan dengan memperhitungkan realisasi lifting, realisasi ICP, perkiraan biaya, realisasi reimbursement PPN sebagai faktor pengurang dan perkiraan PBB migas, pajak daerah, dan retribusi daerah sebagai faktor pengurang.

Selain sering telat, masalah lain terkait DBH, menurut Alex, adalah transparansi cost recovery, daerah penghasil migas dianggap sebagai dareah kaya sehingga alokasi Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khususnya pas-pasan.

Sementara itu, kepada Eksplo, Direktur Eksekutif FKDPM Muliana Sukardi mengatakan bahwa ada masalah lain yang juga patut diperhatikan. Dia mengusulkan perlunya perusahaan-perusahaan asing yang bergerak di sektor migas menyimpan uangnya di perbankan nasional. Menurut dia, BP Migas perlu mengeluarkan aturan tersebut sehingga ada manfaat yang bisa dipetik yaitu meningkatkan laju perekonomian negara.

”Sebisa mungkin dan sebanyak-banyaknya perusahaan-perusahaan asing itu dalam melakukan transaksi di dalam negeri menggunakan mata uang rupiah. Dan melalui perbankan nasional, bukan asing seperti yang terjadi saat ini. Ini akan memberi manfaat pada nilai rupiah yang perlahan-lahan akan menguat,” kata Muliana.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009