Selasa, Agustus 24, 2010

Menjejak Potensi Minyak via Satelit

Perkembangan teknologi satelit memungkinkan banyak hal yang dulunya mustahil menjadi mungkin. Termasuk mencari potensi sumber minyak di laut dalam.


BEBERAPA tahun terakhir ini pemerintah getol memasyarakatkan apa yang disebut dengan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) yaitu suatu sistem satelit pemantau kawasan maritim terintegrasi. Bila IMSS ini terwujud, maka berbagai institusi bisa memanfaatkan teknologi ini untuk berbagai kepentingan. Untuk uji coba, teknologi IMSS ini kemudian diterapkan di selat Malaka dan Selat Makassar.

”Dari segi kepentingan nasional, IMSS ini besar sekali peranannya bagi negara kita yang merupakan negara kepulauan. Jaringan radar maritim yang terintegrasi akan membuat tugas perencanaan dan upaya kita mengatasi berbagai masalah di bidang kemaritiman menjadi lebih mudah,” ujar M Rudi Wahyono, peneliti Indonesian Maritime Domain Awareness (IMDA) kepada saya di Jakarta, baru-baru ini.

Mengapa demikian ? ”IMSS itu berbasis radar dan airborne (patroli udara). Bila kemudian dipadukan dengan teknologi EOS atau earth observation satellite atau maritime surveillance maka hasilnya bisa optimal,” ujar Rudi yang juga menjabat Direktur Kajian Energi,Kelautan dan Lingkungan CIDES ini.

Menurut Rudi, IMSS adalah sebuah sistem yang besar, kompleks dan rumit. Karena itulah, menurut dia, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sebagai pemegang otoritas di bidang keamanan perairan negara perlu mengoptimalkan sumberdaya yang tersebar di berbagai stakeholder kemaritiman lainnya.

Ada banyak lembaga di Indonesia yang memiliki kepentingan dan kapabilitas dibidang kemaritiman seperti Kementerian Lingkungan Hidup, LAPAN, BMKG, Bakosurtanal, lembaga riset, Pemda dan LSM.

Dukungan utama untuk IMSS adalah penguatan kemampuan maritime surveillance dengan memanfaatkan teknologi informasi yang dipadukan dengan teknologi satelit. Integrasi berbagai bidang surveillance dan sensor-sensor keamanan laut (berupa Radar pantai, radar udara, VTMS, AIS, GMDSS dan SAR-SAT) yang tersebar di berbagai instansi seperti Departemen Perhubungan, TNI AL, TNI AU, DKP, Bakorkamla, BMKG, LAPAN dan Departemen Kehutanan amatlah diperlukan.

Rudi mengatakan bahwa Forum World Oceanic Conference (WOC) yang digelar di Manado, Sulawesi Utara tak lama lagi bisa dijadikan momentum yang pas untuk membenahi sederet keruwetan pengelolaan kemaritiman di negeri ini dengan IMSS.

Saat ini, Indonesia menghadapi begitu banyaknya musibah (kapal tenggelam, tabrakan, kebakaran), pencemaran laut (tumpahan minyak, limbah/tailing dan sampah), illegal fishing (pencurian ikan), penyelundupan (kayu, komoditi dagang dan narkoba) hingga perompakan dan perdagangan anak-anak. Semuanya berkaitan dengan kegagalan pengawasan jalur laut kita yang memang luar biasa luasnya itu.

Dengan menggunakan metode satellite surveillance maka kita dapat segera menampilkan data secara tepat, akurat dan terkini. Teknologi satelit penginderaan jarak jauh menghasilkan data citra digital yang dapat memberikan informasi tentang kondisi riil di permukaan bumi. Informasi yang diperoleh tergantung dari jenis gelombang dan resolusi citra satelit.

Apalagi teknologi infra merah saat ini memungkinkan penggunaan sensor aktif atau SAR-synthetic aperture radar, dengan wahana satelit (spaceborne) sehingga surveillance dapat dilakukan hampir setiap saat. Baik saat siang maupun malam dan tidak lagi perlu takut terkendala oleh awan atau cuaca buruk sebagaimana di masa lalu.

Menurut Rudi, dengan penggunaan satelit-satelit lintas kutub (Polar Orbit) yang dilengkapi teknologi SAR-sytnthetic aperture radar, maka kita dapat dengan cepat mendeteksi tumpahan minyak di permukaan laut. Kemudian melacak siapa dan kemana sumbernya bersembunyi. Tatkala minyak membentuk sebuah lapisan tipis di permukaan laut, maka minyak akan menghilangkan gelombang-gelombang kapileri yang biasanya mengganggu citra satelit.

Disebabkan perbedaan dalam sebaran yang berasal dari areal yang ada riak gelombang dan areal yang tidak ada atau kurang adanya gelombang, maka satelit radar dapat mendeteksi lapisan tumpahan minyak yang berada di permukaan laut. Informasi tentang lapisan minyak, posisi, ukuran, dan sebagainya, dapat diteruskan kepada pihak yang berwenang. ”Dengan begitu pencemaran laut yang lebih luas bisa ditanggulangi,” kata Rudi.

Berdasarkan teknik-teknik yang sama – sebagaimana pemantauan tumpahan minyak - pendeteksian rembesan minyak mentah (hydrocarbon) dari dasar laut mungkin saja terjadi. Hidrokarbon yang berada di bawah permukaan laut mungkin saja mengalami rembesan dan keluar membentuk lapisan minyak di permukaan laut. Gelombang-gelombang gas yang dikelilingi oleh minyak dapat muncul ke permukaan melalui ledakan-ledakan dalam air. Lalu akan tercipta lapisan minyak yang kecil dan tipis (film).

Areal wilayah alami tersebut diketahui terjadi dari waktu ke waktu dalam cadangan-cadangan minyak yang potensial, namun frekuensi dan jumlah rembesannya dapat berbeda-beda. Model seperti ini jelas menarik bagi perusahaan-perusahaan minyak, yakni melakukan pencarian minyak di ladang-ladang samudera yang baru atau sebagai pendukung terhadap kegiatan eksplorasi lainnya yang ada di wilayah tersebut.

Teknik ini pula yang telah dipakai oleh Stat-Oil Norwegia untuk menemukan cadangan minyak di selat Makassar Indonesia, baru-baru ini.

Kemampuan mendeteksi sumber daya laut dalam, khususnya minyak mentah itu tentu saja menarik. Apalagi ada pula nilai tambah dari citra satelit yang ada. Variasinya berbeda-beda antara satelit yang satu ke yang lain. Pantauan satelit dipergunakan untuk menampilkan citra, modifikasi output dan menggabungkan (overlay) citra satelit tersebut dengan citra AIS/VTS dan meteorologi.

Melalui kombinasi data dari kapal patroli laut dan pesawat udara maka pihak otoritas hankam bisa pula mempergunakan citra SAR untuk mendeteksi lalu-lintas sipil dan militer di wilayah perairan luas dengan biaya cukup murah dan efektif.

Informasi yang diperoleh dari citra SAR dapat dipergunakan untuk mengarahkan pesawat udara dan kapal laut untuk melakukan inspeksi lebih jauh terhadap sasaran. Informasi ini tentu saja sangat membantu tatkala menjalankan operasi penangkapan illegal fishing atau adanya lalu-lintas yang mencurigakan di dalam wilayah laut nasional.

Kegunaan lainnya meliputi ”nowcasting”, seperti menganalisa tipe/jenis awan, temperatur puncak awan, dan produk-produk klimatologi lainnya yang bermanfaat bagi aktivitas penerbangan dan pelayaran nasional. Citra satelit juga bisa menentukan dengan rinci temperatur permukaan laut dan indeks vegetasi normal (Normalized Vegetation Index).

Dengan fitur ini peramalan cuaca akan lebih akurat. Juga bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan dukungan pada sektor pertanian menyangkut luas lahan serta timing yang tepat untuk masa tanam dan panen. Sementara untuk sektor kehutanan untuk mendeteksi hot-spot dan mendukung pengelolaan hutan secara lestari.

Apa yang menjadi kendala penerapan teknologi citra satelit ini ? ”Kendala utamanya adalah kita belum punya satelit sendiri, atau setidaknya satelit yang dikendalikan sendiri oleh bangsa Indonesia,” kata Rudi. Situasi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia dikenal sebagai negara pemilik satelit pertama di kawasan Asia. Namun kini dalam soal satelit kemaritiman, kita telah dikalahkan sesama negara ASEAN yaitu Thailand.

Dari data yang ada, satu satelit remote sensing sekelas THEOS, Thai Earth Observation Satellite milik Thailand dengan resolusi panchromatic 1 m dan 4 band multispektral resolusi 5-7 m, berikut peluncuran, pembangunan dan operasi ground station selama lima tahun, bernilai sekitar US$115-125 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.

Apabila kita hanya membeli citra satelit komersial dengan resolusi 1 m panchromatic adalah sekitar US$65 per km persegi. Bila diasumsikan luas wilayah kita 5 juta km persegi maka diperlukan biaya tidak kurang dari US$365 juta atau sekitar Rp 4 trilyun pertahun. Bila operasional selama lima tahun saja dibutuhkan total biaya tak kurang dari Rp20 trilyun. ”Ini jumlah biaya yang cukup besar untuk negeri kita,” ujar Rudi.

Namun angka itu masih jauh lebih kecil dibanding dengan kerugian dari nilai ikan (atau sumber daya laut lain) yang dicuri dari perairan kita akibat lemahnya surveillance negara yang mencapai angka Rp30 triliun pertahunnya. Angka kerugian itu jauh lebih besar bila dihitung dari kerugian akibat penyelundupan, perompakan dan pencemaran.

Rudi mengusulkan jalan keluar untuk mengatasi kendala mahalnya biaya satellite marine/earth surveillance tersebut. Menurut dia, Indonesia seharusnya berfokus pada dua hal pokok saja terlebih dahulu yaitu ground segment dan user segment. Artinya dengan segala keterbatasan finansial dan sumber daya manusia sebaiknya Indonesia berfokus pada optimalisasi stasiun bumi dan pengembangan SDM untuk mengoperasikannya.


Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo Edisi 20 Tahun 2009


Tak Mampu Beli, Sewa Saja

MESKI Indonesia tidak punya satelit khusus untuk pembuatan citra udara, karena mahalnya biaya pengoperasiannya, sebenarnya ada solusi lain. Istilahnya kalau tak mampu membeli, sebenarnya Indonesia bisa menyewa saja.

”Kita tak perlu merasa rendah diri karena hal seperti itu juga banyak dilakukan oleh beberapa negara lain seperti Norwegia, Jerman, Jepang dan Taiwan,” ujar Rudi Wahyono kepada saya.

Menurut dia, kebutuhan satelit tersebut cukup sewa berlangganan saja dengan provider satelit komersial yang tersedia seperti Radarsat-1 & 2 (MDA), QuickBird / Orb-View (Digital globe), Ikonos, SPOT, EurImage dan lain sebagainya.

”Melalui suatu koordinasi dan scheduling area yang akan dipantau disesuaikan dengan satellite pass/track dan ternyata metode ini terbukti cukup efisien dan efektif,” ujarnya.

Dalam suatu diskusi mengenai penginderaan jauh di BPPT beberapa waktu lalu terungkap bahwa sistem MEOS atau Multimission Earth Observation System adalah sistem pemantauan yang dianggap paling cocok untuk kondisi Indonesia saat ini.

Mengapa demikian ? Karena sistem MEOS ini tidak didukung oleh wahana space segment atau satellite sebagai komponen pendukung utama, tapi lebih fokus pada jaringan ground station. Pendukung utama system MEOS adalah ground segment serta user segment (user atau human resources) yang mengoperasikan sebuah stasiun bumi.

Jadi MEOS ini didukung oleh satelit-satelit komersial dan riset yang telah tersedia dan telah beroperasi, bukan satelit baru. Dengan optimalisasi sistem recieving dan processing data oleh ground station (dengan dukungan ground station network) untuk memaksimalkan penerimaan data satelit karena wilayah Indonesia yang sangat luas.

Bila dioptimalkan sebuah ground station mampu mengakses sekitar 10 satelit yang lewat dalam jangkuannya. Sayangnya selama ini gound station kita  hanya di pakai untuk satu  satelit. Padahal dalam kurun waktu 24 jam, banyak sekali satelit lalu lalang dilangit Indonesia yang bisa diakses dan dimanfaatkan datanya.

Beberapa departemen dan lembaga pemerintah yang memiliki stasiun bumi seperti LAPAN-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta lembaga baru seperti Bakorkamla memiliki ground station mereka masing-masing.

Misal, Departemen Kehutanan memiliki ground station untuk satelit NOAA untuk memantau hot spot atau kebakaran hutan, sementara LAPAN memiliki ground station dengan kemampuan serupa. Departemen Kelautan dan Perikanan memiliki ground station untuk satelit Seawifs, satelit JASON, Envisat MERIS dan Themis untuk monitoring parameter lingkungan kelautan seperti suhu permukaan laut, arus laut dan pergerakan plankton (klorofil-a) di lautan.

Fitur-fitur diatas sebenarnya bisa ditangani oleh sebuah ground station multifungsi yang bisa merangkum semua misi menjadi satu. Ditambah kemampuannya untuk mengakses data satelit Radar seperti Envisat ASAR maka ground station tersebut bisa melayani berbagai kepentingan seperti pemetaan banjir dan badai, pemetaan gempa, memantau pencemaran laut, deteksi kapal, memantau berapa luasan hutan atau luasan sawah produktif. Pendek kata, banyak hal bisa dilakukan dengan sistem tersebut.

Dalam kondisi siaga atau krisis maka ground station tersebut mampu dipergunakan untuk kepentingan hankam dengan memanfaatkan data-data satelit untuk kepentingan taktis dan strategis.

Beberapa lembaga antariksa raksasa dunia seperti NASA EDOS-Earth Observation Sattellite Data Operating System , ESA ERS (EnviSat), Eumetsat EPS – European Meteorology Polar Satellite, KSAT-Kongsberg Satellite Service telah melengkapi sytem ground station mereka dengan fitur-fitur MEOS Capture HRD FEP -High Rate Demodulator and Front End Processor- yang mampu mengolah data baik satelit optis, satelit radar maupun satelit cuaca.

Jaringan stasiun – stasiun bumi MEOS yang tersebar di seluruh dunia mulai dari  stasiun bumi SVALSAT (di Svalbard-Kutub utara), Tromso, sampai stasiun bumi di kutub selatan (TrollSat, O’Higgins dan Mc Murdo) memperoleh gambar-gambar satelit yang berasal dari satelit radar dan optis dan satelit cuaca. Hasilnya bisa dipergunakan untuk beragam kepentingan diantaranya untuk monitoring mencairnya es kutub akibat global warming. Juga untuk pemanfaatan kelautan lokal.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo Edisi 20 Tahun 2009

Selasa, Agustus 17, 2010

Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas

Alex Nurdin, Ketua FKDPM bersama para pengurus lainnya
Tuntut Bagi Hasil yang Lebih Adil

Inilah dia organisasi yang lahir sebagai buah dari kebijakan otonomi daerah di era reformasi. Menghimpun sejumlah daerah penghasil migas di Indonesia.

SEJAK bergulirnya soal otonomi daerah seiring dengan tibanya era reformasi pada 1998, maka berbagai kebijakan di jaman orde baru yang tadinya diterima dengan pasrah mulai digugat. Saat itu, muncul kegelisahan dari sejumlah daerah penghasil minyak dan gas bumi di tanah air.

Para pemimpin daerah itu : Gubernur, Bupati dan Walikota merasakan sesuatu yang kurang wajar dalam soal bagi hasil migas. Saat itu tercatat ada 80 daerah penghasil migas di tanah air. Semua merasa senasib. Maklumlah, pada jaman orde baru, daerah tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ditentukan oleh pemerintah pusat.

Daerah hanya bisa pasrah menerima berapapun yang diberikan oleh pemerintah pusat dari perolehan dana dari sektor migas. Inilah yang kemudian menjadi latar belakang terbentuknya komunitas para pemimpin daerah bernama Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM) tersebut.

”Spirit otonomi daerah dan soal keadilan dalam bagi hasil migas itulah yang mendorong terbentuknya FKDPM pada 2001,” ujar Muliana Sukardi, Direktur Eksekutif FKDPM kepada Eksplo, Rabu (20/5) lalu.

Begitulah. Era otonomi daerah telah melahirkan semangat baru. Daerah juga ingin mengetahui darimana dan berapa sebenarnya dana bagi hasil yang wajar diterima oleh daerah dari sumber daya alam yang secara kebetulan ada di wilayahnya. ”Pertemuan pertama terjadi di Cikarang dan semua sepakat agar soal bagi hasil migas harus dijalankan secara transparan, terbuka dan berkeadilan,” kata Muliana.

Gagasan itu lantas digulirkan dalam berbagai asosiasi tempat berhimpunnya sejumlah kepala daerah. Saat itu ada asosiasi para Gubernur yang disebut APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia), kemudian asosiasi para Bupati yang berkumpul dalam BKKSI (Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia). Dulunya BKKSI ini bernama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Kemudian para Walikota yang berhimpun dalam APEKSI (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia).

Adapun lembaga para wakil rakyat di tingkat kabupaten dan kota berhimpun dalam ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia) dan ADEKSI (Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia). Gagasan tentang perlunya bagi hasil sumber daya alam bagi daerah penghasil gas yang lebih adil itu tentu saja disambut antusias. ”Maklumlah. Banyak yang selama ini merasa cuma menjadi sapi perah,” ujarnya.

Kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memang patut disyukuri. Ini membuat banyak pemerintah daerah bisa lebih banyak berkreatifitas dalam menjalankan pembangunan di daerahnya sesuai amanat undang-undang. Kedua Undang – Undang ini termasuk salah satu buah positif gerakan reformasi.

Namun begitu, dalam soal bagi hasil migas tampaknya pemerintah pusat kurang cepat melakukan pembaharuan aturan yang ada. Padahal masa sentralistik telah lewat, sehingga wajar kalau semua daerah penghasil migas kecewa terhadap Pemerintah Pusat. Eranya sudah baru, tetapi peraturan yang dijalankan masih memakai yang lama, dengan pola yang sentralistik.

Kekecewaan itu bukan saja terhadap besarnya perimbangan keuangan tetapi juga terhadap sistem pengelolaan, sistem perhitungan bagi hasil, sistem pembagian bagi hasil, sistem pajak, sistem pengelolaan community development, dampak pencemaran, dampak ekonomi, sosial budaya, keamanan  dan lain sebagainya.

Masing – masing baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota mencoba berdialog melalui berbagai cara dengan pemerintah pusat. Dalam hal ini ke instansi terkait yaitu Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan BP MIGAS. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan sistem dan kebijakan yang ada berkaitan dengan soal bagi hasil migas.

”Namun ternyata berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dilakukan, masih belum juga berhasil. Perjuangan menuntut bagi hasil migas agar lebih adil dan seimbang ini sangat berat sehingga rasa–rasanya tidak mungkin dilakukan sendiri–sendiri,” kata Muliana.

Dan akhirnya, salah satu pemimpin daerah penghasil migas di Jawa Barat yakni Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin memprakarsai menyempurnakan dialog dengan Pemerintah Pusat secara bersama – sama melalui suatu wadah. Akhirnya digelarlah rapat para gubernur, bupati, walikota daerah penghasil migas di Hotel Borobudur, Jakarta pada 6 September 2001. ”Ada 80 kepala daerah yang berkumpul saat itu,” kata Muliana.

Hasil akhirnya dibentuk satu tim perumus yang beranggotakan 10 orang kepala daerah. Mereka adalah H. Badrun A. Saleh (a.n Gubernur Riau), Decky Kawab, SH (Gubernur Papua), H. Irianto MS Syafiuddin (Bupati Indramayu), Ir. H. Irfan N. Djafar (Bupati Lampung Timur), H. Achmad Dadang (Bupati Karawang), Ir. HM. Zuher Effendi (a.n. Bupati Musi Banyuasin), Ir. H. Syarifuddin N. (Bupati Lahat), Syaharie Jaang (a.n. WaliKota Samarinda), Prof. DR. Ir. Djoko Santoso, MSc (mewakili ITB) dan Drs. Achmad Setiawan (Ketua LSM INPEC).

Tim perumus akhirnya memberi nama wadah tersebut Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM). Organisasi ini kemudian disahkan berdasarkan akta pendirian No. 4/2001, tanggal 31 Oktober 2001 oleh Notaris Herdimansyah Chaidirsyah, SH di Jakarta.

Kemudian panitia segera mempersiapkan Rapat Lanjutan yang diselenggarakan tanggal 13 September 2001 di tempat yang sama. Hasil rapat tersebut menyepakati dibentuknya Tim Formatur yang terdiri dari : H. Irianto MS Syafiuddin (Bupati Indramayu), H. Syamsul Arifin (Bupati Langkat), Drs. Kasmir (yang mewakili Bupati Sorong), Drs. Achmad (yang mewakili Gubernur Riau), Ir. Irfan N Djafar (Bupati Lampung Timur), Arwin AS, SH (Bupati Siak) dan H. Almalik Pababari (Bupati Mamuju). Terpilihlah H Irianto MS Syafiuddin, Bupati Indramayu sebagai Ketua Umum FKDPM periode 2001 – 2005.

Dengan adanya wadah tersebut, perjuangan mendapatkan bagi hasil yang lebih adil bagi daerah bisa lebih terkoordinasi. Posisi tawar daerah terhadap pemerintah pusat semakin kuat. Dan akhirnya memang membuahkan hasil yang baik pula. Pemerintah pusat akhirnya setuju untuk membuka kran bagi hasil bagi daerah-daerah penghasil migas.  Kesepakatan itu kemudian dijalankan hingga kini.

Besaran dana bagi hasil yang disetujui pemerintah pusat itu adalah sebesar 15 %, yang terdiri dari 6 persen untuk daerah kabupaten penghasil migas, 6 persen bagi kabupaten lain non penghasil migas di wilayah provinsi tersebut dan 3 persen sisanya untuk pemerintah provinsi. Meski kurang puas dengan besaran bagi hasil itu, mereka akhirnya menerima ketentuan dari Departemen ESDM itu.

”Perjuangan kita yang ada di FKDPM adalah agar besaran bagi hasil tersebut bisa ditambah pada masa mendatang. Ini semua karena daerah masih memerlukan dana yang besar untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing,” kata Alex Nurdin, Gubernur Sumatera Selatan yang terpilih menjadi Ketua Umum FKDPM periode 2005-2009.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009


Ingin Kelola Sumur Tua

Mengelola sumur tua ? Jangan salah sangka. Yang dimaksud sumur tua disini adalah sumur minyak. Dan para anggota FKDPM menyatakan mampu mengelola sumur-sumur tua setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008 tentang pedoman pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua.

Ketua Umum Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas (FKDPM), Alex Noerdin menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) siap mengelola pertambangan minyak bumi pada sumur-sumur tua. Sumur-sumur tua itu masih banyak tersebar diseluruh negeri ini. ”Daerah telah siap untuk itu. Jangankan sumur tua, lapangan migas yang baru pun juga siap,” katanya, beberapa waktu lalu.

Dalam Permen itu memang disebutkan bahwa KUD dan BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi. Permen ini sekaligus menghapus Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1285.K/30/M.PE/1996 tertanggal 26 Agustus 1996 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada sumur-sumur tua karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi.

Dalam Permen No 1/2008, yang termasuk sumur tua yakni sumur yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh kontraktor.

Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kini bisa ikut terlibat dalam proses produksi minyak dari sumur tua dengan bekerja sama melalui Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas.

Sesuai aturan, KUD dan BUMD dapat mengajukan permohonan kepada KKKS. Baik KUD maupun BUMD nantinya harus menyerahkan hasil produksi minyak mereka kepada KKKS untuk kemudian mendapat persetujuan BP Migas.

Menurut Gubernur Sumatera Selatan itu, pengelolaan oleh daerah seperti BUMD, tentunya akan berdampak positif terhadap perkembangan daerah  yakni dapat membuka lapangan pekerjaan, berkembangnya usaha sektor formal maupun informal sehingga pada akhir pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pembangunan di wilayahnya.

Sekali lagi ditekankannya, pengelolaan sektor migas oleh BUMD bukanlah pemberian tapi memang daerah punya hak untuk mengelolanya. ”Ini (pengelolaan) sumur minyak bukan “charity” (derma), tapi hak daerah untuk mendapatkannya,” kata Alex yang juga mantan Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan itu.

Dengan pengelolaan oleh daerah, kata dia, maka hasil usaha tersebut akan masuk ke kas daerah. Berarti, pendapatan daerah akan meningkat sehingga yang untung masyarakat kita. ”Coba kalo semuanya dikasih asing, keuntungannya akan masuk ke mereka (asing). Kan yang berjalan selama ini begitu,” kata dia.

Ketika ditanya apakah daerah benar-benar siap baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), teknologi hingga pendanaannya, dia pun menjawab singkat bahwa itu bukan masalah.

Dijelaskannya, SDM yang dimiliki Indonesia di bidang perminyakan sangat banyak dan profesional, juga teknologi, telah mampu dikuasainya. Sementara soal dana sudah banyak pihak yang bersedia untuk mendukung kegiatan tersebut.

Ia mencontohkan, Petro Muba – BUMD di Kabupaten Musi Banyuasin - secara SDM, teknologi maupun pendanaannya sudah siap dan dalam waktu dekat ini ada sejumlah sumur tua yang akan dikelolanya.
Dijelaskannya, terdapat sekitar 400 sumur tua di wilayah Musi Banyuasin yang antara lain dimiliki oleh Pertamina dan ConocoPhilips. sumur-sumur tersebut kalau dikelola dengan baik berpotensi menghasilkan sekitar 1.000 barel per hari. ”Ini cukup besar dan tentunya berpotensi meningkatkan pendapatan daerah,” ungkapnya.

Dari data yang ada di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi sebanyak 5.000 dari 13.824 sumur minyak tua yang tersebar di Indonesia akan diaktifkan kembali untuk diproduksi. Diperkirakan 5.000-12.000 barel per hari (bph) dapat dihasilkan dari pengaktifan tersebut.

Sumur-sumur tua ini, bila bisa dioptimalisasi maka memiliki potensi menghasilkan minyak yang cukup baik. Dari 13.824 sumur tua, 745 di antaranya aktif, sedangkan 13.079 tidak aktif. Sumur-sumur tua tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Antara lain, 3.623 di Sumatera bagian selatan, 3.134 di Kalimantan Timur, 2.496 di Jawa Tengah, Timur, dan Madura, 2.392 di Sumatera bagian utara, dan 208 di Papua.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009


DBH Sering Terlambat




ADA satu hal yang menjadi keluhan pihak FKDPM. Pemerintah pusat kerap terlambat mencairkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang menjadi hak daerah penghasil migas tersebut, terkadang tanpa penjelasan yang memadai. Padahal, Depkeu sudah berjanji untuk tidak lagi terlambat membayar dana itu. Alhasil, pembangunan di daerahpun menjadi tersendat-sendat dan tidak sesuai rencana.

Ketua FKDPM yang juga Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin, mengeluhkan hal ini pada berbagai kesempatan. Kata Alex, FKDPM bakal mengadukan kinerja Depkeu yang masih telat itu kepada DPR. Ia menilai Depkeu ingkar janji.

Keterlambatan pembayaran DBH itu mencapai tiga bulan. DBH harusnya disetor dari kas negara ke daerah tiap tiga bulan sekali. '”Dulu pusat janji tidak terlambat lagi, tapi nyatanya keterlambatan ini sangat parah, tiga bulan terlambatnya, ini sangat mengganggu daerah,” keluh Noerdin.

Keterlambatan DBH dinilai membuat pembangunan di daerah tidak berjalan lancar. Dana yang harusnya bisa dialokasikan untuk triwulan I, misalnya, baru dibayarkan pada triwulan II dan begitu juga bila dana itu digunakan untuk triwulan II, baru diberikan di triwulan III. Keterlambatan DBH juga diklaim mengganggu APBD.

”Ini sangat mengganggu daerah untuk pembangunan, arus kas daerah terganggu apalagi saat ini lifting (minyak) turun dan penerimaan (migas) turun,” sambung dia.

Berdasarkan aturannya di UU Nomor 33 tahun 2004, DBH minyak bumi setelah dikurangi komponen pajak adalah 84,5 persen untuk pusat dan sisanya 15,5 persen untuk daerah. Untuk daerah ini terbagi lagi atas tiga persen untuk provinsi yang bersangkutan, enam persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan enam persen untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

Selain itu, masih ada tambahan 0,5 persen yang dipecah lagi dalam 0,1 persen untuk provinsi, 0,2 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 0,2 persen untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Dana ini digunakan untuk membiayai pendidikan.

Prosedur penghitungan DBM migas dilakukan secara triwulanan dengan memperhitungkan realisasi lifting, realisasi ICP, perkiraan biaya, realisasi reimbursement PPN sebagai faktor pengurang dan perkiraan PBB migas, pajak daerah, dan retribusi daerah sebagai faktor pengurang.

Selain sering telat, masalah lain terkait DBH, menurut Alex, adalah transparansi cost recovery, daerah penghasil migas dianggap sebagai dareah kaya sehingga alokasi Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khususnya pas-pasan.

Sementara itu, kepada Eksplo, Direktur Eksekutif FKDPM Muliana Sukardi mengatakan bahwa ada masalah lain yang juga patut diperhatikan. Dia mengusulkan perlunya perusahaan-perusahaan asing yang bergerak di sektor migas menyimpan uangnya di perbankan nasional. Menurut dia, BP Migas perlu mengeluarkan aturan tersebut sehingga ada manfaat yang bisa dipetik yaitu meningkatkan laju perekonomian negara.

”Sebisa mungkin dan sebanyak-banyaknya perusahaan-perusahaan asing itu dalam melakukan transaksi di dalam negeri menggunakan mata uang rupiah. Dan melalui perbankan nasional, bukan asing seperti yang terjadi saat ini. Ini akan memberi manfaat pada nilai rupiah yang perlahan-lahan akan menguat,” kata Muliana.

Iwan Samariansyah/Majalah Eksplo edisi 21 Tahun 2009

 


Minggu, Agustus 15, 2010

Terapi Buah



Tahukah anda bahwa buah-buahan harus dinmakan pada saat perut kosong? Jika anda makan buah seperti itu, itu akan memainkan peranan penting untuk mendetoksifikasi sistem anda, menyediakan anda dengan banyak energi untuk menurunkan berat badan Dan kegiatan kehidupan anda lainnya.

Buah juga adalah makanan manusia paling penting sekaligus paling sehat. Katakanlah Anda makan dua potong roti, dan kemudian sepotong buah. Potongan buah siap untuk pergi langsung melalui lambung ke dalam usus, tetapi dicegah untuk itu. 


Sementara itu, seluruh makanan membusuk dan berfermentasi dan berubah menjadi asam. Menit berikutnya buah datang Dan kontak langsung dengan makanan di perut Dan pencernaan, seluruh massa makanan mulai menjadi rusak.  Jadi silahkan makan buah-buahan Anda pada waktu perut Anda kosong atau sebelum Anda makan !

Anda telah mendengar orang-orang mengeluh - setiap kali aku makan semangka aku bersendawa, ketika aku makan durian perutku kembung, saat saya makan pisang aku merasa seperti lari ke toilet, sebenarnya semua ini tidak akan muncul jika Anda makan buah pada saat perut kosong. Buah bercampur dengan makanan lain akan  membusuk Dan menghasilkan gas. Dan dengan itu anda akan kembung !

Rambut beruban, botak, ledakan gugup, dan lingkaran hitam di bawah mata semua TIDAK akan terjadi jika anda makan buah pada waktu perut kosong. Tidak ada hal seperti beberapa buah, seperti jeruk dan lemon bersifat asam, karena semua buah-buahan – bahkan durian - menjadi basa dalam tubuh kita, menurut Dr Herbert Shelton yang melakukan penelitian tentang hal ini.

Jika Anda telah menguasai cara yang benar makan buah-buahan, Anda memiliki Rahasia kecantikan, umur panjang, kesehatan, energi, kebahagiaan Dan berat badan normal.

Ketika Anda harus minum jus buah - minumlah jus buah yang fresh, tidak dari kaleng. Jangan minum jus yang telah dipanaskan. Jangan makan buah-buahan yang sudah dimasak karena anda tidak mendapatkan nutrisi sama sekali. Anda hanya bisa mendapatkan rasa. Memasak buah akan menghancurkan semua vitaminnya. Tetapi makan buah utuh lebih baik daripada minum jus.

Tetapi jika Anda hanya bisa minum jus, minumlah seteguk demi seteguk secara perlahan, karena Anda harus membiarkannya bercampur dengan air liur Anda sebelum menelannya.
Anda dapat melakukan 3-Hari makan buah untuk membersihkan tubuh anda. Hanya makan buah dan minum jus buah selama 3 hari dan anda akan terkejut ketika teman anda memberitahu anda bagaimana anda tampak berseri-seri !

KIWI: Kecil tapi kuat.Ini adalah sumber yg baik terdiri dari kalium, magnesium, vitamin E, serat. Berisi vitamin C dua kali lipat dari jeruk.

APEL: Sebuah apel sehari membuat Anda jauh dari dokter. Meskipun sebuah apel memiliki kandungan vitamin C rendah, IA memiliki antioksidan, flavonoid, yang dapat meningkatkan aktivitas vitamin C dengan demikian membantu untuk menurunkan resiko kanker usus, serangan jantung dan stroke.

STRAWBERRY: Buah pelindung. Strawberry memiliki kekuatan antioksidan total tertinggi antara buah-buahan utama dan melindungi tubuh dari penyebab kanker, penyumbatan pembuluh darah-radikal bebas.

JERUK: obat yang manis. Memakan 2-4 jeruk dalam sehari dapat membantu agar pilek menjauh, menurunkan kolesterol, mencegah Dan melarutkan batu ginjal serta mengurangi resiko kanker usus.

SEMANGKA: Pendingin pemadam haus. Terdiri dari 92% air, juga dikemas dengan dosis raksasa glutathione, yang membantu meningkatkan system kekebalan tubuh Kita. Semangka juga merupakan sumber utama likopen - oksidan melawan kanker. Nutrisi lain yang ditemukan di semangka adalah vitamin C dan kalium.


JAMBU PEPAYA: penghargaan paling TOP untuk vitamin C. Mereka adalah pemenang untuk vitamin C. Jambu biji juga kaya serat, yang membantu mencegah sembelit. Pepaya kaya akan karoten, ini adalah baik untuk Mata Anda.