Sudah lama blog ini tidak diupdate.
Hari ini 18 Maret 2009, saya membaca esai Iwan Piliang, sejawat saya yang aktif menulis sketsa. Tulisannya bikin saya terkesan. Saya lantas tergerak ingin membaginya untuk anda karena menurut saya, tulisan ini sungguh menarik dan memancing rasa penasaran.
Mudah-mudahan pihak yang berwenang di Singapura tergerak untuk membongkar misteri kematian.
Pemimpin Indonesia ? Ahhh, mereka sedang sibuk kampanye dan mematut-matut diri di hadapan rakyat banyak. Selamat membaca.
***************************************************************
“They Want to Kill Me,” Teriak David,
Darah Lalu Bersimbah
Sketsa 18 Maret 2009, teks oleh : Iwan Piliang
Pertemuan saya dengan ayah David, Hartono Wijaya, hari ini mengindikasikan kuat pembunuhan. Riset David setelah terus saya verifikasi menajam; indikasi “rebutan” hak penemuan “ komponen” obyek 3 dimensi yang bisa tayang di udara, bisa juga berguna bagi televisi masa depan yang dapat ditonton kasat mata, tanpa kacamata khusus, laksana riset yang pernah dilakukan Lucas Art & Co. Inilah Sketsa ke-3 sebagai seorang literary citizen reporter, indikasi tentang kasus pembunuhan anak jenius, aset bangsa seharusnya.
SOSOK Hartono Wijaya berkacamata berkemeja lengen pendek bergaris biru berpantolan biru tua. Alur benang celana bagian pisak depannya melicin. Ada goresan seterikaan. Sepatu hitamnya bertelapak tipis. Penampilannya sederhana saat saya temui. Hartono adalah ayah kandung David Hartanto, mahasiswa Indonesia yang tewas di kampusnya di Nanyang Technology University (NTU), Singapura, pada 2 Maret 2009 lalu.
“They want to kill me, they want to … kill me … they …”
Di menjelang ajal itu, David berteriak-teriak, “They want to kill me,” lalu lari terbirit-birit, di lantai tempat ia berkonsultasi dengan dosen pembimbing skripsinya, Prof., DR. Chan Yan Loek, 45 tahun, di jurusan Electrical Engineering.
Tak ada bala bantuan.
David ketakutan.
Bayangan kematian di depan mata.
Malaikat maut seakan menabal ajal.
Kampus bergengsi di pagi cerah mulai ramai namun sepai.
Di 2 Maret 2009, sekitar pukul 10 waktu Singapura, suasana senyap, ternyata telah mengantar tubuh David yang semula segar bugar lalu kelengar. Indikasi lehernya ditebas, lalu badannya dibuang, dijatuhkan dari lantai empat kampus, tempat segala ilmu dan kelimuan yang mengdepankan integritas itu terjadi.
Seorang wanita, pekerja di NTU melihat sosok David lari terbirit-birit. Ia mendengar jelas suara, “They wanto to kill me…” Tetapi ia tak menyangka sebuah permintaan tolong melolong.
Ia mengira, agaknya, hanya sebuah adegan bercanda.
Wanita itu menceritakan detik mencekam itu kepada Hartono Wijaya, pada 2 Maret 2009 petang di Singapura, di saat sosoknya berkunjung ke kampus NTU.
“Jika saya sebutkan nama wanita itu kepada Anda, akan dibunuh pula wanita itu kini,” ujar Hartono.
Indikasinya leher David ditebas pisau. Darah berceceran di tangga, sebagaimana foto tetesan darah yang sedang dibersihkan yang telah dikirim oleh seorang blogger di Singapura kepada saya. Foto itu kini juga beredar di internet, Facebook, dan menjadi potongan video visual yang dibuat oleh Christovita Wiloto.
Kalimat David lari terbirit-birit dengan nada ketakutan itu diceritakan Hartono dengan mata berkaca-kaca.
Saya lalu meminta tolong ayah David ini mendeskripsikan jasad anaknya ketika pertama kali melihat.
Ditemani oleh pihak Kedutaan Indonesia di Singapura pada sore, 2 Maret 2009, oleh pihak kepolisian ia tak diperbolehkan melihat jasad David. Alasannya masih dalam otopsi.
“Keesokan harinya saya kembali.”
“Anak saya badannya dililit plastik, dibalut macam mumi plastik bening.”
“Tetapi saya melihat lehernya diplester, ada tiga baris plester.”
Demikian paparan Hartono kepada saya.
Saya berjumpa Hartono di sela-sela diskusi yang diadakan oleh Christivita Wiloto, Selasa, 17 Maret 2009, pukul 13.30. Chris membuat pertemuan diskusi sekalian memberikan penghargaan kepada penulis resensi bukunya, Behind Indonesia Headlines, dalam sebuah diskusi bertopik Membangun Citra Positif Indonesia Melalui Pemberitaan Media. “Mengapa media di Indonesia hanya mengutip saja keterangan media di Singapura, bahwa David memutus nadi, melompat bunuh diri,” ujar Christovita membuka diskusi.
Bisa saya maklumi Hartono enggan menyebut wanita saksi mata itu.
Toh, empat hari setelah kematian David, sosok Zhou Zheng, peneliti, yang di saat hari kematian David turut hadir di ruangan Prof Chap Yan Loek, mati gantung diri.
Christovita membuat sebuah film presentasi bahan yang dikumpulkan di forum Straits Time. Kumpulan foto kematian David; deretan kejanggalan, seperti dua tulisan saya sebelumnya, sudah beredar di banyak milis, blog , di Facebook, kini.
Di tanggal 3 Maret, kedua orang tua David di Singapura, diminta membuat keputusan cepat, mengkremasi jasad atau membawa pulang ke Indonesia.
“Entah mengapa kala itu, dalam keadaan kalut kami memutuskan mengizinkan kremasi,” kenang Hartono. Matanya berkaca. Seakan ada penyesalan di sana.
Pertanyaannya lalu, mengapa David dipatheni?
SAYA teringat akan pergumulan saya di dunia visual.
Sejak berhenti jadi wartawan di Majalah SWA pada 1989, saya kemudian membuka usaha sendiri, mulai dari graphic design hingga visual animasi. Bahkan pada 1993, saya memutuskan penuh berusaha bergerak di bidang animasi. Hingga 1996, usaha saya tutup, setelah menginvestasikan uang Rp 1,2 miliar, sebuah angka besar bagi saya - - karena diperoleh dari usaha sendiri dari nol. Saya membuat animasi 2D wayang, 3D wayang.
Dalam pergulatan yang membawa kerugian uang itu, mengantarkan saya kepada pengetahun piranti lunak dan kemampuan visual. Saya mengenal yang namanya aplikasi software animasi 3D; mulai dari Soft Image 3D, 2D, Toon, 3D Studio Max. Hardware mulai dari high end komputer Silicon Graphic yang dipakai untuk menjalankan aplikasi editing macam Inferno - - dulu di Jakarta dimiliki pertama oleh Post Office, perusahan post production (rumah paska produksi) milik Peter F. Gontha.
Pada 1997-1998, saya sempat pula bekerja di VHQ,rumah paska produksi visual milik Eric Lomas, orang Australia, warga Singapura. Ia juga berpartner dengan Media Development Authority (MDA) semacam BUMN-nya Singapura. Melalui MDA inilah, antara lain pemerintah Singapura memberi kemudahan Disney, bahkan Lucas Film membuka usahanya di Singapura, termasuk memberi iming-iming tax free
Lucas Art & Co, pernah melakukan riset tentang teknologi tiga dimensi (3D) visual untuk kepentingan iklan, yang mampu tampil di udara. Itu artinya, software animasi 3D, sederhananya, yang semula hanya bisa membuat model dan tayang di komputer atau cuma direkam ke format film dan video, lalu bisa ditayang di udara.
“Seingat saya pada 2006 Lucas Art & Co, sudah pernah mempublikasikan rencana riset mereka soal itu, “ ujar Vidiyama Sonnekh, praktisi teknologi informasi di Jakarta.
“Semacam hologram tiga dimensi yang bisa hidup di udara.”
“Dulu kami pernah mau menawarkan teknologi itu sebagai suplier ke kelompok usaha Djarum yang sedang membangun Grand Indonesia. Cuma, kala itu masih mahal, proyektornya saja satu US $ 20 juta,” kata Vidiyama.
Nah harga mahal itu pastilah berkait ke riset panjang dan mahal.
“Nah jika ada mahasiswa yang melakukan riset dan menemukan teknologi yang lebih murah, logikanya, bisa merugikan industri?” ujar Vidi.
Judul penelitian David Hartanto: “Multiview acquisition from multi-camera configuration for person adaptive 3D display 3D Rekonstruski Dari CCTV, Syarat Utama Pendukung Intelligent Video Surveillance System.”
Dari latar pemahaman animasi dan software, latar bekerja di perusahaan post, lalu mengetahui riset Lucas Art dari Vidiyama, serta membaca judul skripsi David, plus mendapatkan email dari blogger di Singapura, juga mengakuan sosok gadis bernama Angel, mahasiswi yunior David di NTU, maka saya menduga, bahwa penemuan David adalah: Kemampuan membuat gambar visual tiga dimensi yang bisa tayang ke udara, khusus untuk teknologi intelijen, di mana sosok orang digital bisa diprogram masuk ke ruang tertentu dipantau melalui kamera CCTV, gerakannya dipandu pemindai gerak (motion capture); dapat mengirim data, suara, layaknya manusia benaran yang sedang kita perintah bekarja.
Jika benar demikian, hebat. bukan.
Jika benar itu yang ditemukan, menurut Vidi, implementasinya bisa macam-macam. “Kita bisa saja mengganti resepsionis di kantor dengan orang 3D, bukan manusia utuh,” ujar Vidi.
Saya lalu menghayal membayangkan teknologi hologram dalam film Star Trek, yang kini memang mulai banyak dilakukan riset visualnya oleh Amerika Serikat. Riset itu juga berupaya mengembangkan televisi masa depan, antara lain agar publik dapat menonton teve tiga dimensi di udara tanpa lagi menggunakan kacamata khusus.
Ketika di risetnya 70%, sesuai penuturan Angel, sebagaimana sudah saya tulis di Sketsa saya kedua soal David, profesor-nya tidak yakin David mampu. “Jika kamu bisa, kamu akan dapat Nobel,” ujar Angel, mengutip David. Gadis itu penasaran atas kesibukan David selama dua pekan menyelesaikan tugas akhir yang tak mau diganggu. Ia lalu menmgunjungi David dan mendapatkan keterangan demikian.
Pada pagi sebelum berangkat ke kampus, David sudah memeindahkan data skripsinya ke flash-disk. Juga mebawa note book-nya dalam ransel, plus bekal minuman air putih dalam botol besar.
“Sesuai dengan info kawan-kawanya di Singapura yang saya terima, hari itu skripsinya sudah samapi 90% final,” ujar Hartono Wijaya, sang ayah.
Malang tak dapat diduga, kampus yang seharusnya menjadi wadah para ilmuwan yang berdedikasi kepada keilmuan dan kejujuran, sebaliknya justeru kini meninggalkan tanda tanya besar. Jika indikasi pembunuhan memang kini menguat, riset jitu anak penggemar game dan visual itu pun diduga kuat sesuatu yang sangat berarti.
Pertanyaaan, mengapa David harus mati?
Hingga di sini adalah tugas jurnalisme perlu melakukan verifikasi terus-menerus menjadi penting.
“Saya sangat menyayangkan mengapa KBRI kita di Singapura diam saja. Tidak bersuara?” ujar Constant Marino Ponggawa, anggota komisi I DPR RI, 2004-2009.
Ketika saya desak dengan pertanyaan, mengapa DPR tak menekan pemerintah RI menyampaikan tekanan penyidikan tuntas terhadap pemerintah Singapura?
“Ini waktunya sedang tak pas. DPR sedang reses.” kata Constant.
Constant tak habis pikir, mengapa pemerintah diam, “Apa ini karena sosok yang tewas kalangan minoritas?”
Bila saya menjawab Constant, maka dengan berat hati saya tuliskan kembali bahwa penghargaan negara terhadap nyawa memang rendah-rendah saja. Saya mengulang menuliskan bahwa tiga pekan lalu seorang wanita bernama Devi, di Pamulang, Banten, koma usai diperkosa, rumah sakit tidak bisa menerima karena tak ada identitas dan kartu miskin, dirawat sekenanya di pos ronda lima hari oleh warga, lalu mati begitu saja.
Negara?
Entah di mana!
Di banyak kasus menimpa TKI kita di luar negeri, dilecehkan, dihamili bahkan mati, sebagaimana dipaparkan Christivita Wiloto, negara juga seakan entah di mana?
Makanya jika seorang anak pandai, brilian pula otaknya, lalu kemudian dibunuh, dan opini media sedunia dibangun bahwa, anak mahasiswa Indonesia penusuk dosen?
Pembunuh!
“Maka celakalah kita,” ujar Christovita.
Di saat anggota DPR reses, di saat pejabat pemerintahan bercuti lalu berkampanye, di saat para Caleg menghitung kocek, kematian satu nyawa, bisa jadi terlupakan lagi oleh pengelola negara. Padahal di kematian David, bisa jadi sesungguhnya menyangkut nama besar bangsa diindikasikan dirusak, sekaligus “dihina”. Sudah sejak lama anak-anak pintar negeri ini diimingi bea siswa, lalu setelah tamat otaknya guna membangun bangsa orang.
Inilah tragedi di bangsa yang menghamburkan dana dalam lima tahun ini mencapai Rp 1.000 triliun, untuk kepentingan Pemilu, Pilkada, Partai dan pengeluaran perorangan partai, namun alpa akan sisi kemanusiaan yang kian hari seharusnya: kian beradab.
“Sebagai orang tua, Pak Hartono tak mungkin meminta nyawa anaknya kembali. Tetapi minimal ada pembuktian, bahwa anaknya mati bukan karena menusuk dosen,” ujar Christovita.***