Senin, Juni 30, 2008

Reformasi Terus Berlanjut

PERISTIWA reformasi sepuluh tahun silam menandai jaman baru di Indonesia. Galeri Foto Antara menandainya dengan menggelar pameran karya pewarta foto Antara kilas balik Reformasi selama sebulan penuh.

Iwan Samariansyah (iwansams@jurnas.com)

SATU pepatah mengatakan bahwa sebuah gambar lebih menggambarkan daripada seribu kata-kata. Pernah lihat foto pulitzer di vietnam, The Saigon Executioner ? Apa yang Anda pikir saat melihat foto itu? Kengerian dan kekejaman mungkin. Atau barangkali saja kebengisan perang Vietnam. Yang jelas foto hasil jepretan Eddie Adams itu begitu menghentak dan mencekam. Brutal.

Dan 12 pewarta foto Antara, kantor berita tertua dan terbesar di tanah air yang kantornya terletak di jantung Ibukota negeri itu unjuk gigi dengan gambar. Gambar yang tak kalah menghentak, mencekam juga terkesan brutal. Kerusuhan dan penjarahan. Kekerasan di jalan-jalan ibukota Jakarta. Kebakaran yang menghanguskan gedung-gedung bertingkat. Demonstrasi mahasiswa.

Itu antara lain foto-foto yang dipamerkan. Seluruhnya ada 46 foto hitam putih. Arif Ariadi, Hadiyanto, Hermanus Prihatna, Jaka Sugiyanta, Maha Eka Swasta, Mosista Pambudi, Oscar Motuloh, Pandu Dewantara, Saptono, Yudhi Soerjoatmodjo, Yusnirsyah Sirin dan Zarqoni Maksum. Itulah nama-nama jurnalis foto yang menjadi saksi sejarah otentik dan merekam gambar peristiwa reformasi 10 tahun silam.

”Demi mengenang perjuangan para mahasiswa dan rakyat Indonesia yang telah menyerahkan jiwa raganya untuk gerakan reformasi. Juga untuk terus menyuarakan kembali tuntutan-tuntutan mahasiswa yang belum terwujud hingga sekarang, sekaligus menandai penghujung seabad kebangkitan nasional dengan kritis, itulah tujuan pameran foto ini,” tulis Oscar Motuloh dalam buku katalog pameran.

Semua bermula dari krisis moneter, lantas menjelma menjadi krisis ekonomi. Nilai rupiah jatuh, dan harga sembilan kebutuhan pokok naik tak terkendali. Rakyat gelisah. Dan ratusan, kemudian menjadi ribuan anak-anak muda terdidik dari kampus-kampus perguruan tinggi bergerak keluar kampus. Berunjuk rasa. Kuliah ditinggalkan dan jalan-jalan raya dipenuhi massa mahasiswa. Tuntutannya satu : reformasi total !

Presiden Soeharto yang sudah berkuasa lebih dari 32 tahun dituntut untuk mundur dari jabatannya dan pemerintah mesti dibersihkan dari penyakit nepotisme, kolusi dan korupsi (NKK). Hari-hari itu, di sepanjang Mei 1998 bukanlah hari yang biasa. Itu hari ketika gejolak politik meningkat luar biasa tinggi. Bangsa ini sepakat untuk melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih demokratis.

Foto berjudul Swara Rakyat karya Yusnirsyah Sirin, yang diambil di Jalan Meruya, 4 Mei 1998 menggambarkan suasana itu dengan komplit. Gambar mahasiswa yang duduk di depan barisan polisi. Sejumlah spanduk berisikan kritik dan pesan pada penguasa terbaca jelas. Tak ada yang menyangka, unjuk rasa damai yang manis itu seminggu berikutnya berubah menjadi tragedi dahsyat.

Pada 12 Mei, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak di kampusnya saat demonstrasi. Mereka adalah Hafidhin Royan (mahasiswa Teknik Sipil), Hendriawan (Ekonomi), Elang Mulia Lesmana (Arsitektur) dan Hery Hartanto (Teknik Mesin). Kejadian itu memicu kemarahan warga. Sehari setelah itu, kerusuhan besar melanda Jakarta dan kota-kota lain.

Seolah ada kekuatan gelap yang merayap dan mengendalikan, ribuan orang menjadi begitu beringas dan angkara murka pun merajalela. Mereka menjarah dan membakar pertokoan atau pusat perbelanjaan. Juga mobil dan sepeda motor di jalan raya. Banyak orang tewas terpanggang. Aparat keamanan menghilang. Api dan asap dimana-mana. Mosista Pambudi mengabadikan keadaan itu dengan dua gambar menawan : Awal Tragedi serta Capung-capung dan Kabut Kerusuhan.

Foto Awal tragedi menampilkan seorang laki-laki bertelanjang dada berlari-lari membawa bendera di dekat pos polisi Grogol yang dibakar massa pada 13 Mei 1998. Sedangkan foto Capung-capung dan kabut kerusuhan dibidik dari puncak Gedung Antara, Merdeka Selatan menggambarkan helikopter aparat keamanan yang melayang-layang tak berdaya menembus kabut dari asap gedung-gedung yang dibakar massa.

Hari berikutnya, 14 Mei amuk massa masih terus berlanjut. Jaka Sugiyanta dan Hermanus Prihatna memotret kerusuhan di kawasan Tanah Abang dan Saptono merekam mobil-mobil yang hangus dibakar di Jalan Mangga Besar. Sementara Oscar Motuloh, Yudhi Soerjoatmodjo dan Hadijanto merekam berbagai kejadian pada 15 Mei 2008. Saat itu kerusuhan di pusat-pusat ibukota telah berhenti, namun di pinggiran ibukota massa masih mengamuk.

Setelah amuk massa itu yang tertinggal adalah kehancuran dan puing-puing. Bangkai-bangkai kendaraan yang dibakar massa menumpuk di mana-mana, di Cileduk misalnya yang disajikan secara menarik melalui foto berjudul Puing Angkara karya Hadiyanto. Tetapi juga korban manusia jatuh dimana-mana. Ratusan manusia –entah siapa-terpanggang api di berbagai pusat perbelanjaan.

Dan pada 18 Mei 2008, Mosista Pambudi mengabadikan prosesi pemakaman massal korban kerusuhan di TPU Pondok Ranggon. Foto berjudul Korban Kerusuhan itu menggambarkan sejumlah peti mati dan petugas yang menggali liang kubur bagi mayat-mayat gosong yang diketemukan di berbagai pusat perbelanjaan. Hampir seluruhnya tanpa identitas yang jelas, dan dimakamkan begitu saja.

Usai kerusuhan, Gerakan mahasiswa semakin meluas. Tuntutan politik mereka semakin meluas. Kali ini yang menjadi sasaran adalah gedung wakil rakyat di Senayan. Berbondong-bondong mahasiswa menuju Gedung MPR/DPR. Yusnirsyah Sirin dan Saptono memotret peristiwa pendudukan gedung MPR/DPR oleh para mahasiswa. Anak-anak muda tanpa kenal takut, berjaket almamater dengan celana jins belel memutuskan menduduki gedung MPR/DPR dalam arti yang sebenar-benarnya.

Entah siapa yang memulai, puluhan mahasiswa memanjat puncak kubah Grahasabha Paripurna, lantas berjingkrak-jingkrak di atasnya. Resmi sudah lambang kedaulatan rakyat itu dikembalikan ke pemilik kedaulatan yaitu rakyat itu sendiri, para mahasiswa yang sudah jemu dengan suasana penindasan rezim otoriter Orde Baru selama berkuasa 32 tahun itu.

Fotografer Saptono mengabadikan peristiwa pendudukan kubah Gedung MPR/DPR itu dengan bagus. Dia memberi judul foto itu Perlawanan dari Puncak Kubah, yang diambilnya pada 20 Mei. Tampaknya sang fotografer ikut pula naik ke atas kubah tersebut saat itu dan kameranya sempat mengambil gambar jenaka berisi sepasang muda-mudi yang duduk di atas kubah sembari memegang spanduk. Dia lantas memberi judul fotonya Kapan Lagi Dapat Kesempatan Begini. Wahh …..

Desakan dan tekanan politik akhirnya membuat Soeharto yang baru saja terpilih kembali sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya menyerah. Apalagi demonstrasi mahasiswa kemudian didukung oleh sejumlah tokoh politik. Empat tokoh oposisi utama Orde Baru yakni Abdurrahman Wahid (Ketua Umum PB NU), Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah), Megawati Soekarnoputeri (Ketua Umum DPP PDIP) dan Sri Sultan Hamengkubuwono (Gubernur Yogyakarta) bergabung menyatukan kekuatan.

Lantas pukulan yang paling telak bagi Soeharto adalah ketika 14 orang Menterinya mundur dari kabinet, dan MPR turut mendesak Soeharto meletakkan jabatan. Akhirnya, pada 21 Mei pukul 09.02, penguasa Orde Baru itu pun menyatakan berhenti sebagai presiden dan Wakil Presiden BJ Habibie naik menggantikannya. Gambar para mahasiswa menari dan berjoget kesenangan di Gedung MPR/DPR direkam Oscar Motuloh dengan foto berjudul Dancing for Glory. Keren.

Semua foto itu begitu otentik. Merekam gambaran nyata peristiwa reformasi Mei 1998, satu dasawarsa yang lalu. Ada gambar unjuk rasa ribuan mahasiswa di jalan dan Gedung MPR, pemakaman korban Trisakti, kerusuhan massa, toko-toko yang dijarah, warga yang hangus terpanggang api, para tentara yang berjaga dengan senapan dan tank, sampai perayaan mahasiswa saat Soeharto mundur.

Semua itu membeberkan peristiwa demi peristiwa dalam kronologi visual yang demikian dramatik dan dokumentatif. Gambar memang tak bisa berdusta. Sekaligus membuktikan kekuatannya bahwa memang gambar lebih kuat dari 1.000 kata.

Foto yang dipamerkan disusun urut sesuai kronologis peristiwa yang terjadi sejak 4 Mei 1998 hingga berpuncak pada mundurnya penguasa Orde Baru Soeharto pada 21 Mei 1998. Dimulai dari dekat pintu masuk, lantas ke dinding ruang galeri foto sebelah barat memutar ke utara dan berakhir di dinding ruang galeri foto sebelah timur.

Di ruang pendamping, sejumlah memorabilia mahasiswa saat berjuang untuk reformasi juga ikut dipampangkan, termasuk foto-foto mereka. Yang menarik, disitu dipajang pula koleksi jas almamater dan poster-poster yang dipakai demonstrasi saat itu, selongsong peluru, pin, foto-foto dokumentasi, serta foto empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban. Dan tak lupa satu film dokumenter berjudul Tragedi Jakarta 1998 (Gerakan Mahasiswa di Indonesia) karya Tino Saroengalo ikut diputar.

”Kami ingin mengingatkan semua orang. Reformasi harus terus berlanjut. Harapan akan lahirnya janin Indonesia Baru seperti tuntutan mahasiswa saat gerakan reformasi 1998 masih belum terwujud. Kiranya suara dan jeritan mahasiswa serta rakyat yang terhembus dari ruang pameran dapat dibaca dan disimak oleh semua elemen bangsa. Satu suara bahwa memang reformasi belum selesai,” kata Oscar Motuloh. Begitulah.

*) Tulisan ini dimuat di Majalah Dwi Mingguan ARTi, edisi 003 03 - 16 Juli 2008 halaman 80 - 81

Polemik Manifesto Seni

Pameran besar Seni Rupa Indonesia 2008 bertajuk Manifesto yang digelar di Galeri Nasional melahirkan polemik dan wacana menarik soal seni rupa. Sejumlah kurator dan praktisi seni rupa menyampaikan kritiknya, dan para kurator Manifesto berupaya menangkisnya.

Iwan Samariansyah
iwansams@jurnas.com

PAMERAN Manifesto Seni sukses digelar pada 22 Mei – 15 Juni 2008 yang lalu. Paling tidak gebrakan tersebut berhasil mencairkan kebekuan relasi seni rupa berbagai aliran yang selama bertahun-tahun tak bisa berpameran bersama di satu tempat dan waktu. Ada 350 orang perupa terbaik Indonesia yang melibatkan diri. Jumlah ini jelas cukup kolosal dan terbesar sepanjang sejarah seni rupa Indonesia.

Karya-karya yang dipamerkan dalam Manifesto juga cukup lengkap. Mewakili berbagai komunitas, kelompok, generasi juga aliran seni rupa. Ada berbagai lukisan, dari realisme, naturalisme hingga abstrak ; berbagai patung berukuran besar dan kecil ; seni instalasi dari yang indah mencengangkan hingga yang menyerempet klenik dan horor ; beraneka ragam poster dan grafis dan lain-lain.

Meski mengundang banyak pujian dan kekaguman, pameran Manifesto juga dihujani cukup banyak kritik dari berbagai pihak yang mengikuti perkembangan seni rupa modern di Indonesia. Kurasi dipertanyakan, makna seni rupa kontemporer Indonesia juga, bahkan kesadaran kebangkitan seni rupa itu sendiri. Seolah-olah, pameran Manifesto tengah diadili oleh dalam proses pencatatan sejarah seni rupa modern Indonesia.

Untungnya, para kurator manifesto yakni Jim Supangkat, Rizki A Zaelani, Kuss Indarto dan Farah Wardani dalam katalog pameran sudah pasang kuda-kuda. Mereka tegas-tegas menyatakan bahwa meski Manifesto disebut-sebut sebagai pameran terbesar yang pernah digelar, namun apa yang digelar sama sekali tidak dimaksudkan untuk menampilkan suatu konsep seni rupa Indonesia.

Manifesto juga tidak bertujuan mempertontonkan suatu pemikiran seni yang menelurkan formulasi seni yang katakanlah ”beridentitas Indonesia” ; maupun pernyataan tentang praktik seni yang bertumpu pada nasionalisme. Keempat kurator sepakat bahwa Manifesto hanyalah pernyataan bersama dari 350 peserta pameran yang ingin mengukuhkan pengertian dan wacana seni dan seni rupa Indonesia saat ini.

Perupa dan mantan dosen ISI Yogyakarta Nyoman Gunarsa menuding bahwa karya-karya yang ditampilkan dalam Manifesto terlalu mengekor ke barat. ”Saya melihat bahwa Manifesto justru menjustifikasi bahwa semangat seni rupa dari barat menjadi primadona dari para perupa kita. Semangat lokalitas tidak tumbuh dan menguat sehingga hal ini terasa amat ironis,” ujarnya kepada Doddi Ahmad Fauzi.

Jim Supangkat sebagai kurator pameran Manifesto berupaya menjawab tuduhan Nyoman Gunarsa soal mengekor ke barat itu. Secara tak langsung, Nyoman memang mengkaitkan kuatnya pengaruh barat itu sehubungan keberadaan dirinya. Maklumlah, Jim berasal dari Bandung. Dan Bandung, pada masa-masa lalu lalu pernah dihujat bahkan diberi stempel pengekor seni rupa Barat, bahkan laboratorium seni rupa Barat.

”Saya kira patut dibaca lagi apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Manifesto Seni itu. Kita mesti melihat dan menyadari kecenderungan masing-masing seniman di Indonesia. Persoalan seni rupa Indonesia berkiblat ke Barat atau ke Timur adalah wacana usang dan tidak penting. Menurut saya, tuduhan soal kecenderungan kiblat ke Barat tidak disertai kajian yang mendalam dan komprehensif,” ujarnya kepada Argus Firmansah.

Persoalan lokalitas yang dipandang tidak muncul pada pameran Manifesto Seni, menurut kurator independen kelahiran Makasar, 2 Mei 1948 ini, harus dilihat secara lebih mendalam. Seni rupa di Indonesia pada sejarah awalnya oleh Raden Saleh, misalnya, merupakan proses establishing modernity di Indonesia yang pada saat juga terjadi di Eropa.

Lokalitas dalam Manifesto Seni dilihat dengan kacamata contemporary culture yang sekaligus menjelaskan keberadaan lokalitas keindonesiaan yang disuguhkan oleh 350 seniman yang terlibat, sekaligus seni rupa kontemporer Indonesia.

Hujaman kritik terhadap pameran Manifesto yang bersinergi dengan momen sejarah perayaan seratus tahun Kebangkitan Nasional Indonesia itu sah sebagai sebuah polemik perdebatan yang sehat. Seni juga bukan hanya untuk dinikmati, tetapi penting untuk diperbincangkan agar sejarah seni rupa modern Indonesia saat ini disadari oleh para seniman, kritikus, kurator, bahkan ahli sejarah seni rupa Indonesia.

Jim menjadi kurator untuk karya-karya yang dipamerkan dengan spesifikasi Seni dan Rasa Keindahan. Dia memilih beberapa karya dengan berbagai gaya dan wujud antara lain karya-karya Angki Purbandono, Agus Sudarto, Anusapati, Pratomo Sugeng, Oco Santoso, Krisnamukti, Rita Widagdo, Edo Pillu, Dadan Setiawan, Nasrul dan lain-lain, untuk mendukung pendapatnya.

Mikke Susanto, kurator Jogja Gallery dan kritikus seni rupa menyampaikan apresiasinya bahwa Galeri Nasional berhasil menggelar hajatan perupa terbesar di tanah air. Hanya saja dia menyayangkan bahwa secara tematik pameran manifesto tidak bisa menggambarkan atau mewakili keseluruhan dunia seni rupa Indonesia. ”Sekedar sebagai perayaan okelah, tapi kurang mewakili keberagaman,” ujarnya kepada Anitya Wahdini.

Mikke mengkritik Jim yang menulis dalam kuratorialnya bahwa pameran manifesto memperlihatkan restrospeksi seni rupa Indonesia sejak era 1970-an hingga masa kini. Menurut dia, Jim tampaknya lupa mencermati pengertian dan perkembangan seni rupa mutakhir. Dia melihat adanya ketidaklengkapan sisi seni terakhir yang berkembang di kalangan seniman muda ini terasa mengganggu.

Soal tersebut lantas disanggah oleh Jim yang menyatakan bahwa seni rupa kontemporer tidak mempunyai ciri-ciri yang khusus. ”Akan banyak orang yang tertawa, terutama mereka yang memahami seni rupa dunia bila ada seseorang di Indonesia yang memberikan ciri seni rupa kontemporer,” ujar Jim.

Menurut dia, seni rupa kontemporer tidak bisa diberikan ciri-cirinya seperti apa. Paling tidak, seni rupa kontemporer berakar dari contemporary culture yang bagi seorang modernist dienyahkan karena seni tidak mau mereka selalu kaitkan dengan persoalan budaya. Budaya dianggap masa lalu oleh orang modernist karena selalu berhubungan dengan sesuatu yang bersifat tradisi di masa silam.

Lantas kritik mengenai seleksi karya yang ditampilkan dalam manifesto, menurut pengakuan Jim, bahwa senimanlah yang menentukan karya mana yang dianggap mewakili kecenderungan dirinya dalam mengolah kreatifitas sesuai dengan konteks sosial, politik, budaya, dan pandangan mereka terhadap seni, ke dalam karyanya. ”Jadi tidak benar bila sayalah yang menyeleksi karya mana yang akan disajikan dalam manifesto,” katanya.

Jim Supangkat juga membenarkan kritik Agus Dermawan T, bahwa seorang kurator mengambil resiko besar dalam Manifesto Seni. Dan karya kontemporer itu memang tidak dijelaskan oleh Jim Supangkat dalam pengantar kurasi yang ada di dalam katalog. ”Saya dibatasi ruang yang ada di buku katalog. Terbatas ruang bila semua detail tentang seni rupa kontemporer harus dijelaskan semuanya,” tukas Jim.

Membaca kritik Aminudin TH Siregar, Jim Supangkat menjawab bahwa motif politik di dalam Manifesto Seni itu ada. Pameran itu tidak ada kaitannya dengan program pemerintah dengan ikon seratus tahun kebangkitan nasional.

Yang hendak dikemukakan oleh Jim Supangkat dan kawan-kawan melalui Manifesto Seni justru menunjuk pada upaya pembacaan sebuah realitas seni dan contemporary culture yang menjadi aksi seni rupa kontemporer di Amerika dan Eropa atas perkembangan seni rupa di Indonesia saat ini. Proses tersebut berjalan timbal balik, dan sama sekali bukan sebagai pengekor.

Kurator pameran Manifesto lainnya yang dihubungi Heru Prasetya di Yogyakarta yakni Rizki A Zaelani menyampaikan apresiasinya atas kritik yang muncul terhadap pameran akbar Manifesto. Menjawab kritik Nyoman Gunarsa, anggota Dewan Kurator Galeri Nasional Indonesia ini menyatakan bahwa pameran manifesto memang bukan pameran survei perkembangan.

”Pameran ini mengundang seniman untuk menampilkan karya yang menurut mereka
baik sesuai dengan persepsi mereka tentang seni. Saya nggak bisa bilang bahwa seluruh perkembangan seni rupa Indonesia hanya melulu bicara tentang seni. Ada sisi lain yang dikembangkan. Tapi pameran Manifesto memang lebih menyorot apa persepsi seni menurut seniman dan kemudian dinyatakan dalam karyanya. Ada yang menjelaskan secara langsung dan ada yang tidak,” ujar lelaki kelahiran Bandung, 27 Desember 1965 itu.

Dia mengakui bahwa berkaitan dengan arah perkembangan yang terjadi sekarang, komentar Nyoman Gunarsa ada benarnya. Ada sisi-sisi yang menunjukkan perkembangan yang umum. Karena umum seperti itulah maka orang lantas menilai menjadi mirip. ”Itu yang mungkin dimaksud Pak Gunarsa sebagai mengekor barat,” ujar Rizki.

Menurut alumni FSRD ITB ini, ada satu ciri perkembangan yang hampir berkaitan dan kemudian dilakukan beberapa kelompok seniman, sehingga dinilai sebagai mengekor tadi. ”Akan tetapi menurut saya itu bukan mengekor. Itu adalah kecenderungan, sehingga bisa saja terjadi seperti itu. Saya juga menolak itu disebut sebagai kemunduran. Itu menunjukkan tanda-tanda perkembangan sesuai dengan apa yang dikehendaki masa sekarang. Misalnya karya-karya cenderung menjadi lebih abstrak,” tukasnya.

Dalam Manifesto ada dua tema yang paling besar, yaitu narasi dan seni. Tema seni diisi lebih banyak oleh karya yang menafsirkan seni sebagai cara untuk menyatakan keindahan. Orang bisa menggunakan seni untuk menunjukkan keindahan. Tanpa lewat seni pun sebenarnya gejala itu sudah indah, misalnya pemandangan alam atau perempuan cantik. Kemudian seni menyatakan kembali. Tapi ada karya yang menyatakan keindahan karena caranya, ini yang tampak menonjol saat ini.

Menurut Rizki, sewaktu undangan disebarkan ke komunitas perupa di berbagai provinsi, sebenarnya ada sejumlah penjelasan yang dicoba diuraikan. Penjelasan ini bukan bermaksud menjelaskan karya-karya yang nanti akan dipamerkan. Modelnya bukan model ada masalah kemudian seniman bereaksi. Yang diinginkan adalah bagaimana persepsi seni itu hidup di kepala seniman.

”Kemudian saya menemukan empat jawaban itu. Persepsi itu masuk untuk menyatakan keindahan, narasi, persepsi moral, dan untuk menyatakan eksistensi. Kemudian seninya tampak pada karya. Mereka bebas menafsirkan. Otomatis antara penafsiran moral dengan penafsiran seni menjadi satu. Tema seni kemudian dimunculkan karena sebenarnya persepsi tentang seni itu bisa berbeda-beda,” ujarnya.

Bagaimanapun, problematika seni ini sebenarnya memiliki korelasi dengan semangat kebangkitan itu. Karena dasar dari semangat kebangkitan sebenarnya adalah hidupnya kesadaran modern. Itu paralel dengan kesadaran tentang seni.

Karena istilah ekspresi seni dalam pengertian art sebenarnya adaptasi dari pengertian-pengertian dunia modern. Nggak ada batas wilayah lagi. ”Di masyarakat tradisi juga tidak ada galeri. Nggak ada tradisi pameran, kolektor. Yang ada seni menjadi bagian dari kehidupan komunitas. Tidak ada pemisahan,” katanya.

Pameran Manifesto, kata Rizki, sebenarnya mencoba mengisi narasi bangsa identik dengan narasi tentang identitas seni, bukan identitas politik. Orang akan pusing
kalau berbicara soal seni jaman Soekarno atau Soeharto. Tidak ada pembabakan seperti itu di dalam seni.

Ada beberapa karya yang dianggap lebih baik, dianggap bermakna oleh satu masyarakat yang sama di tempat yang berbeda. Tapi ukurannya karena persamaan persepsi tentang kemajuan seni. Ada karya untuk masyarakat sini tidak dianggap, tetapi untuk yang di sana dianggap bagus.

* Bahan-bahan tulisan dikumpulkan oleh Dwi Fitria, Doddi Ahmad Fauzi dan Anitya Wahdini (Jakarta), Argus Firmansah (Bandung) dan Heru Prasetya (Yogyakarta)

** Dimuat di Majalah Dwi Mingguan ARTi, edisi 003 03 - 16 Juli 2008 halaman 87 - 91

Sabtu, Juni 14, 2008

Indahnya Kegilaan di Koong

Tiga perupa menyajikan kegilaan berkreasi di Galeri Koong, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Pameran itu dipadati pengunjung, orang awam, seniman dan kolektor.

Iwan Samariansyah

iwansams@jurnas.com

AWALNYA adalah ide untuk menunjukkan kecenderungan karya-karya yang bersifat ekspresif tapi juga bersifat naratif dalam peta perkembangan seni rupa kontemporer di Yogyakarta. Begitu saya baca tulisan pemilik Koong Gallery Sing Sing pada pengantar kuratorial pameran bersama tiga pelukis asal Yogyakarta Ugo Untoro, Yustoni Voluntero dan Cahyo Basuki Yopi, digelar mulai 23 Mei – 1 Juni 2008.

Jum’at malam 23 Mei lalu, kolaborasi trio pelukis berpenampilan nyentrik dan semau gue itu mulai digelar. Galeri yang terletak di lantai 1 The Darmawangsa Square itu sudah dipenuhi pengunjung saat saya tiba. Makanannya enak, dan minumannya segar. Bahkan tersedia pula wine, minuman mahal yang tak semua orang bisa membelinya itu. Saya berdecak kagum. Acara belum lagi dibuka, tapi pengunjung sudah berdatangan.

Pameran bersama itu bertajuk de Tour. Ada 26 lukisan berbagai ukuran dengan media oil on canvas, kecuali satu karya Ugo Untoro berjudul Angin Kiri berukuran 100 x 150 cm yang dibuat dengan media mixed on canvas. Perupa Cahyo Basuki Yopi selain menampilkan lukisannya, juga mengusung dua karya seni instalasinya dengan media stainless steel yang unik dan mencuri perhatian.

Pada lembar undangan disebutkan bahwa pembukaan pameran dilaksanakan pada pukul 19.30 WIB oleh Steak Daging Kacang Ijo. Mulanya banyak pengunjung, termasuk saya, mengira bahwa itu nama makanan. Baru setelah sekumpulan pemusik membawa peralatan musik tampil di depan membawakan musik dan lagu yang bikin telinga berdenging dan tak nyaman semua baru faham, bahwa itulah nama grup musik itu.

Yang menarik, salah satu personil Steak Daging Kacang Ijo entah mabuk atau bagian dari aktingnya sebagai seniman usai pembukaan pameran dengan cueknya tidur di lantai ruang pameran. Tidur dengan gaya mlungker persis udang laut, diapun tidur dengan lelapnya di tengah-tengah para pengunjung pameran yang berlalu lalang. ”Walah, dasar wong gemblung (dasar orang gila),” celetuk seseorang.

Kegilaan yang indah. Mungkin itulah yang hendak ditawarkan para perupa dengan karya-karyanya malam itu. Bisa jadi begitulah citra yang terbentuk di benak pengunjung ruangan galeri Koong malam itu. Warna-warni Ugo Untoro yang ekspresif dan menyergap mata dengan tema-tema yang sepele namun menyentil adalah khas karya perupa kelahiran Purbalingga, 28 Juni 1970 itu.

Alumni Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan sudah berpameran sejak 1988 ini selalu memulai proses berkarya dari bermacam persoalan yang luput dari perhatian kita. Penjelajahan ini lah yang menjadi kekuatan karya-karya Ugo. Kadang mengejutkan dan membuat kita tertegun karena kebersahajaan namun begitu dalam maknanya. Coba saja simak karyanya yang bertajuk Angin Kiri dengan pigura berukuran 100x150 cm.

Lukisan itu menggambarkan kaki manusia telanjang dalam sepotong kain atau kayu yang pada bagian kirinya membentuk wajah manusia tampak samping. Ini adalah salah satu karya yang terjual malam itu, padahal harganya tidak murah : Rp 75 juta. Entah, siapa kolektor yang membelinya. Namun karya Ugo itu membawa kita bertanya-tanya nasib apa yang menimpa si pemilik kaki yang menghadap ke kiri itu ?

Ugo Untoro menampilkan sembilan lukisan malam itu. Selain Angin Kiri, ada pula lukisan bernuansa tragis bertajuk Kota Yang Hangus. Ugo seakan hendak melukiskan situasi salah satu pojok kota yang sedang dilalap si jago merah. Kegemaran Ugo memakai judul lukisan dalam bahasa Inggris juga makin menjadi-jadi. Setidaknya empat dari sembilan lukisannya masing-masing berjudul : Am I Too Handsome ?, I Have Nothing For You #2, Night Simphony dan On The Cradle.

Saat ditanya kenapa bisa begitu, pria yang kini tidak lagi tampil plontos itu menjawab dengan cuek. ”Ya biar keren aja. Asyik kan,” ujarnya sembari melihat-lihat majalah ARTi yang sedang dipegangnya. Lelaki yang malam itu tampil dengan baju lengan panjang berwarna merah muda dan rompi hitam serta celana panjang jeans belel dengan ramah menerima ucapan selamat dari kolega-koleganya.

Ugo dengan senang hati dia membubuhkan tanda tangan pada poster karya-karya lukisannya yang dibagikan secara gratis. Perupa yang karyanya Kuda pernah dinobatkan sebagai obyek pameran terbaik pada pameran tutup tahun bertajuk Kuota : Inbox 2007 di Galeri Nasional pada 18 – 30 Desember 2007 lalu itu tampaknya memang menjadi bintang pameran di Koong Gallery malam itu.

”Lukisan-lukisan Ugo menunjukkan imej-imej yang menggambarkan sosok dalam kondisi kegelisahan. Ugo adalah ikon bagi semangat perlawanan kaum muda menentang rezim ketaatan sosial yang dijalankan kekuasaan atas nama kemajuan dan kebebasan sosial. Satu gerakan yang diadopsi dari generasi bunga yang tumbuh di dunia barat,” ujar Rizki A. Zaelani dalam buku kuratorial pameran yang saya baca.

Kedua perupa lain Yustoni Voluntero dan Cahyo Basuki Yopi juga menunjukkan kecenderungan senada meski dengan gaya yang berbeda. Tema-tema gambaran dalam karya-karya yang ditampilkan (tujuh karya dari Yustoni dan 12 karya dari Cahyo) seolah-olah tengah menunjukkan berbagai kepingan cerita yang berhamburan begitu saja dari benak masing-masing perupa. Ekspresif dan kadang bersifat liar. Gila.

Menurut Rizki, sebagai kurator dia menilai bahwa Ugo, Toni dan Yopi secara umum menunjukkan kecenderungan yang saling berkaitan. Seluruhnya menunjukkan penggambaran bidang-bidang kosong berwarna (kadang tampak ekspresif, kadang datar-datar saja) menjadi semacam ruang sepi yang, sepertinya, tengah menyembunyikan sesuatu. Kekosongan itu lantas memberikan energi pada berbagai imej yang ditempatkan pada bidang kanvas.

Imej itulah yang terlihat pada karya Ugo berjudul Bonsai Series yang menggambarkan seorang lelaki yang melata di bawah sapuan dahsyat kuas berwarna kelabu diatasnya. Atau karya Toni yang judulnya seperti hendak mengajak bermain kata-kata Long Live Love Long Live Life, sebuah lukisan seorang laki-laki berambut panjang yang tengah tertidur lelap di ranjang yang ada simbol hati di atas kepalanya.

Sedangkan perupa Yopi tampaknya sedang senang bermain-main dengan puluhan resistor yang terangkai tak beraturan di sebuah ruang luas bewarna. Itu bisa disimak pada karyanya berjudul Bug Series dengan media oil on canvas berukuran 150x100 cm, atau lukisan-lukisannya yang lain berjudul Resistor John, B.S. Colony, Dying, B.S. Hatch Out, Hatch Out dan In Love. Rangkaian resistor yang umumnya disepelekan orang tapi bisa menjadi lukisan unik yang ditawarkan Yopi seharga Rp 13 juta per unitnya. Wow !

Dari segi usia dan pengalaman, Ugo Untoro adalah yang paling senior dan paling lama jam terbangnya diantara ketiga perupa tersebut. Dia juga pernah berpameran beberapa kali di luar negeri diantaranya di Kuala Lumpur (Malaysia), Singapura, Paris (Prancis), Vietnam dan Washington D.C (AS). Pada dekade 1990-an, penghargaan Philip Morris Indonesian Art Awards beberapa kali pernah pula disabetnya.

Pengalaman internasional Ugo tersebut tampaknya bisa ditandingi oleh Yustoni Volunteero. Pria asal Bantul, Yogyakarta itu pernah melanglang buana ke Australia pada 2002 dan kemudian sempat pula tampil dalam pameran bersama sejumlah pelukis lainnya di Belanda dan Jerman pada 2004. Yopi yang termuda diantara ketiganya (kelahiran Surabaya 2 Maret 1975), belum pernah berpameran di luar negeri.

Mengapa disebut de Tour ? Trio perupa ini sepertinya mengalami rute perjalanan sedemikian rupa yang khas yakni berputar. Ugo, Toni dan Yopi seolah bergerak menjauh untuk kemudian sampai pada tempat yang dimaksud sebelumnya. Rute itu berlaku sebagai perjalanan melingkar atau de Tour. Itu bukan rute potong kompas, agar menjadi cepat dan ringkas, tetapi justru cara menyingkir, mengembara untuk sementara.

Rute itu ditempuh dengan cara membawa serta pada ekspresi karya ketiganya sebuah kekuatan imajinasi. Karya itulah yang menjadi semacam jangkar (anchor) bagi sikap keprihatinan mereka. Mereka tidak peduli dengan apa penilaian orang lain terhadap karya yang dihasilkan. ”Bagi mereka, karya mereka adalah bagian dari apa yang disebut dengan totalitas dalam kebebasan berekspresi,” tulis Rizky dalam kuratorial pameran.

Itu pula bagi sebagian pengunjung, banyak yang menilai kebebasan yang dipamerkan oleh ketiga perupa di Koong Gallery itu agak di luar batas normal. Atau sebut saja diliputi kegilaan. Musik yang membuka pameran dengan para pemain musiknya yang serampangan, cara berpakaian yang juga seenaknya bahkan juga lukisan-lukisan ketiga perupa yang susah difahami dan makanannya yang enak gila. Pendek kata, pameran di Koong itu adalah sebuah pameran kegilaan. Kegilaan yang indah.

Begitulah. Lukisan-lukisan Ugo, Toni dan Yopi telah bicara. Bagi ketiga perupa ini, hal-hal kecil dan sepele bisa menjadi inspirasi untuk membuahkan karya. Jangan lupa, ke 28 karya lukisa ketiga perupa termasuk seni instalasi Yopi semua dibuat pada 2008. Karya kuas mereka jelas bukan jenis artopoppian, dan tentu saja juga lebih kaya ketimbang segi empat. ”Lukisan bukan benda,” kata Ugo.

Menurut Ugo, sebuah lukisan lahir, berasal dan hidup terengah-engah dari puluhan lukisan lain yang tak perlu dimuseumkan, dipasarkan atau dipamerkan. Ia menegaskan bahwa lukisannya tak dimaksudkan berada dalam perkembangan sejarah seni lukis apapun atau hendak dimasukkan dalam isme yang sudah jadi. ”Lukisan saya adalah ekspresi kebebasan. Itu saja,” tukasnya.

Karya-karya yang ditampilkan oleh Ugo, Toni dan Yopi dalam pameran ini menunjukkan kuatnya idealisme untuk membuat lukisan tetap berbentuk. Karena bentuk itulah, lukisan ketiganya bersifat khas dan percaya diri. Bagaimanapun, lukisan adalah gambar yang diperumit atau disederhanakan. Tanpa idealisme yang memadai, bagaimana menunjukkan kegelisahan dan kerisauan sang pelukis pada dunia ?

*) Tulisan ini dimuat di Majalah dwimingguan ARTi edisi 002, 12 Juni - 25 Juni 2008 halaman 68 - 70

Jalan Sepi Seni Grafis

Semenjak kelahirannya pada masa revolusi hingga kini, seni grafis berjalan sendiri. Sunyi dan sepi. Pamerannya pun tak ramai pengunjung.

Oleh : Iwan Samariansyah

SAAT tengah mempersiapkan penerbitan edisi perdana majalah ini, saya sempat melihat spanduk bertuliskan pameran seni grafis di depan gedung Bentara Budaya. Pameran itu akan berlangsung pada 15-23 Mei 2008. Minat sayapun timbul untuk meliput dan mengunjungi pameran tersebut, dan baru wujud pada Sabtu, 17 Mei lalu. Sayapun masuk ke ruang utama pameran, yang sayangnya sepi pengunjung.

Padahal karya-karya seni grafis yang dipamerkan cukup menarik perhatian. Grafis-grafis hasil cetakan yang dipamerkan sesak dengan kritik sosial tentang kondisi hidup perkotaan Indonesia yang sarat masalah. Mulai dari grafis penuh rudal dari Sri Maryanto di sayap selatan ruang pamer, dekat pintu masuk hingga karya-karya humoris mengundang senyum bertajuk ”Joged Komando” karya Tisna Sanjaya di sayap barat.

Efix Mulyadi, Direktur Eksekutif Bentara Budaya dalam buku kuratorial pameran mengakui bahwa seni cetak grafis memang belum mendapatkan perhatian layak dari publik di Indonesia. Itu sebabnya, lembaganya kemudian menyelenggarakan pameran seni grafis khususnya untuk para pemenang Trienal Seni Grafis Indonesia yang sudah dua kali digelar pada 2003 dan 2006.

”Dengan begitu, mereka tidak dibiarkan bersendiri merebut tempat dan kesempatan di dalam hiruk pikuk percaturan seni rupa masa kini, di tengah keniscayaan serta keanekaragaman budaya kontemporer,” tulis Efix.

Pameran di Bentara Budaya tersebut diikuti oleh pegrafis Agus Prasetyo, Agus Yulianto, Sri Maryanto. AC Andre Tanama dan Arief Eko Saputro. Mereka semua adalah para pemenang Trienal seni grafis Indonesia besutan Bentara Budaya. Satu pemenang yaitu Agus Suwage, karena kesibukannya, tidak bisa menyertakan karyanya dalam pameran bertajuk Grafis Hari Ini tersebut.

Penyelenggara lantas mengajak serta pegrafis-pegrafis lain yang lebih senior seperti Syahrizal Pahlevi, Tisna Sanjaya, Agung Kurniawan, Setiawan Sabana dan Haryadi Suadi untuk ikut serta meramaikan pameran tersebut. Kurator pameran tersebut adalah Aminudin TH. Siregar. ”Pameran ini layaknya dipandang sebagai survei untuk membaca konfigurasi terkini dari seni grafis,” katanya dalam kuratorial pameran.

Aminudin TH Siregar adalah dosen jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung yang juga dikenal luas sebagai kurator seni di berbagai pameran seni rupa di tanah air. Dia juga menjabat sebagai Direktur Galeri Soemardja milik Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB di Bandung. Ucok – begitu panggilan akrabnya – sering menulis soal seni rupa di berbagai media massa.

Di Indonesia, seni grafis mulanya dipandang sebagai media penyebaran komunikasi dealam bentuk ilustrasi yang bersifat persuasif serta propagandis. Itu terjadi sejak negara ini masih berusia muda. Pada Agustus 1946, saat menyambut perayaan kemerdekaan, Baharuddin Marasutan dan Mochtar Apin meluncurkan paket hasil cukilan grafis mereka yang oleh Kementerian Pemuda disebarkan ke berbagai negara sebagai bagian dari propaganda kemerdekaan Indonesia.

Seni grafis kerap dipandang sebagai salah satu cabang dari seni lukis. Pendapat ini tidak bisa dielakkan mengingat banyak pegrafis juga dikenal sebagai pelukis. Dan produk seni grafis juga sebagaimana halnya seni lukis ditorehkan di atas kanvas, meskipun dari segi teknik pembuatan sedikit berbeda. Kalau seni lukis sepenuhnya menggunakan tangan guna menghasilkan karya seni, maka seni grafis menggunakan teknik cetak mulai dari cetak digital, cukilan hardboard, monoprint atau cetak saring.

Setidaknya itulah yang terlihat pada pemeran Grafis Hari ini yang saya saksikan di Bentara Budaya itu. Pada karya Setiawan Sabana dan Haryadi Suadi, dua pegrafis yang dianggap senior dalam urusan cetak-mencetak ini (cetak digital) terlihat bertahan dengan ciri khasnya karyanya yang konsisten. Karya Setiawan Sabana memadukan masa lalu dan masa kini sebagai ajang kelana alegoris. Sedangkan Haryadi Suadi memadukan estetika lokal bernuansa timur, dengan prinsip-prinsip modern ala barat.

Generasi pegrafis sesudah kedua tokoh itu yakni Tisna Sanjaya, Agung Kurniawan dan Syahrizal Pahlevi yang aktif berkarya pada dekade 1990-an serta generasi abad 21 seperti Agus Prasetyo, Agus Yulianto, Arief Eko Saputro, A.C. Andre Tanama dan Sri Maryanto berupaya menampilkan karya-karya kontemporer. Karya-karya mereka merepresentasi pelbagai patologi di dalam kebudayaan kontemporer Indonesia, terutama di kota.

Tiga karya Sri Maryanto yakni Hujan, 13 Mei dan Kena Kepala yang kesemuanya dibuat pada 2008 sungguh menghentak. Ketiganya menunjukkan gambar manusia yang terkena rudal, senjata mematikan yang menghujam ke kepala dan gedung-gedung. Grafis berupa cukilan hardboard di atas kanvas ukuran 60x80 cm penuh sesak dengan warna mengingat latar belakangnya sebagai pelukis. Hal serupa tergambar pada tiga karyanya yang lain yakni Tempat Sampah, Pasti Sampai dan Mendadak Kena.

Berbeda halnya dengan pegrafis Agus Yulianto yang grafis buatannya didominasi cukilan harboard hitam-putih. Bagi Yulianto, kesederhanaan warna di dalam karyanya secara sengaja dilakukan mengingat citraan yang hadir disitu penuh sesak. Misalnya pada karya berjudul Chaos is Pop (detail). Pegrafis kelahiran Pacitan, 8 Juli 1976 ini sadar harus memanfaatkan ruang cetak yang besar, berukuran 132x250 cm. Karya yang dihasilkannya menjadi terkesan ikonik dan kontras, sebagaimana lazimnya sejumlah karya dalam sejarah seni grafis.

Kekuatan garis hitam putih juga mendominasi karya dua pegrafis lainnya yakni Arief Eko Saputro dan Agus Prasetyo. Hanya saja pada Agus Prasetyo, hasil cetakannya secara manual diwarnai. Ini sungguh mengherankan, karena teknik seperti itu tidak lazim dalam seni grafis. Pewarnaan dalam seni grafis layaknya dihasilkan melalui cetakan, bukan diwarnai oleh tangan, lazimnya teknik dalam melukis.

Tisna Sanjaya dan Agung Kurniawan adalah dua pegrafis yang dikenal publik melalui karya-karyanya yang sinis mengomentari mentalitas masyarakat, persoalan sosial dan juga praktik-praktik politik yang kotor di tanah air. Kekuatan karya grafis mereka diantaranya dapat dilihat dari ketepatan teknik dan tema.

Yang menarik, Agung bereksperimen dengan memadukan seni grafis dan instalasi. Dia memasang sepatu adidas di salah satu sudut ruang pamer, dan pada bagian tumitnya dia tuliskan bahwa sepatu itu adalah Adidas tragedi Peristiwa Mei.

Karya Syahrizal Pahlevi sepintas mengalami perubahan. Pada karya-karya sebelumnya, pegrafis kelahiran Palembang, 14 Oktober 1965 ini intens menggarap tema-tema figur, sosok-sosok yang secara personal dianggap lekat dengan pengalaman biografisnya. Kali ini dengan lanskap, Pahlevi tengah memberi suatu pemahaman baru tentang ruang imajinasinya.

Aspek kekinian yang terkandung di dalam karya-karya para pegrafis tersebut, menurut Aminuddin, dinyatakan tidak saja melalui pencapaian teknik cetak yang prima atau tema-tema yang aktual. Akan tetapi menyasar pula pada konsistensi menghadapi kekinian mereka di tengah kepungan atau dominasi produk seni rupa lainnya. ”Hemat saya, hal itu jauh lebih signifikan untuk dijadikan variabel pokok penilaian,” ujarnya.

*) Tulisan ini dimuat di Majalah dwimingguan ARTi, edisi 002 - 12 Juni - 25 Juni 2008 di rubrik Seni Rupa halaman 76 - 77